Monday, May 18, 2020

PENTINGKAH GURU TERAMPIL BERBAHASA? (Bagian III)


Oleh: Dr. Asep Nurjamin


Telah dibicarakan pada bagian sebelumnya bahwa guru perlu menguasai keterampilan berbahasa karena tiga alasan. Pertama, karena guru akan menggunakan bahasa sebagai pengantar dalam pembelajaran. Kedua, karena bahasa Indonesia merupakan salah satu matapelajaran yang harus dikuasai siswa. Ketiga, karena guru akan dijadikan model atau contoh berbahasa oleh para siswanya.

Pada tulisan sebelumnya telah dibicarakan pentingnya menguasai keterampilan berbahasa sebagai bahasa pengantar.

Pada bagian ini akan dibahas pentingnya menguasai bahasa Indonesia sebagai bahan pembelajaran.
Bahasa Indonesia sebagai bahan pembelajaran. Setiap guru bahasa harus menyadari bahwa tujuan kita mengajarkan bahasa adalah “agar para siswa terampil menggunakan bahasa.” Ini tujuannya yang hakiki.  Ciri keberhasilan seseorang yang belajar bahasa Arab adalah mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Arab. 

Ciri keberhasilan orang belajar bahasa Inggris adalah mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris. Ini tujuan orang belajar bahasa. Ingat, tujuannya bukan mencapai nilai tertentu atau sekadar lulus dalam ujian. Ini sebuah kesalahan.
Karena tujuan belajar bahasa itu mencapai kemampuan dalam menggunakan bahasa, maka pembelajaran bahasa harus diarahkan pada kemampuan menggunakan bahasa. Dengan demikian, pembelajaran bahasa berbentuk pelatihan menggunakan bahasa. Hal ini sesuai dengan prinsip pembelajaran bahasa yang dikemukakan para ahli. Belajar bahasa adalah belajar menggunakan bahasa. Ketercapaian tujuan pembelajaran bahasa ditandai dengan kemampuan siswa berkomunikasi menggunakan bahasa yang dipelajari.

Ada dua keterampilan yang harus dikuasai siswa, yaitu keterampilan berbahasa lisan dan keterampilan berbahasa tulis. Keterampilan berbahasa lisan meliputi keterampilan berbicara dan keterampilan mendengarkan. Keterampilan berbahasa tulis meliputi keterampilan membaca dan keterampilan menulis.

Setiap proses pembelajaran bahasa harus menjadi wahana untuk melatih keempat keterampilan berbahasa tersebut. Ini tidak sulit dilakukan.

Salah satu contoh sederhana proses pembelajarannya dapat dilakukan seperti berikut ini. (1) Guru membacakan cerita untuk didengarkan oleh siswa. (2) Siswa diminta mengajukan pertanyaan mengenai isi cerita. (3) Guru menjawab pertanyaan, siswa mendengarkan. (4) Siswa diminta menuliskan persitiwa penting dalam cerita. (5) Siswa diminta membacakan jawabannya. (6) Siswa yang lain diminta menanggapi jawaban temannya, dan seterusnya.

Pada contoh pembelajaran tersebut telah terlatihkan keterampilan mendengarkan pada  nomor 1 dan nomor 3; keterampilan berbicara  pada nomor 2 dan 6; keterampilan menulis pada nomor 4; keterampilan membaca pada nomor 5.

(insya Allah bersambung)

Friday, May 15, 2020

SEJARAH KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA


Oleh: Dr. Asep Nurjamin 
Asep5nurjamin@institutpendidikan.ac.id

1. Sejarah Kelahiran Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah anugerah Allah yang besar bagi bangsa Indonesia. Banyak negara di dunia yang tidak memiliki bahasa sendiri. Mereka tidak dapat memutuskan bahasa mana yang harus dijadikan bahasa negara dan bahasa nasional. Masing-masing kelompok masyarakat memaksakan diri untuk mengangkat bahasa daerahnya sendiri sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Demikian juga yang kelompok lainnya. Mereka bersitegang pada pilihannya sendiri. Tidak ada yang mengalah. Akhirnya, dipilihlah bahasa asing sebagai negara dan bahasa nasional. Masalah seperti ini muncul pada masyarakat India yang pada akhirnya memilih bahasa Inggris sebagai bahasa resmi mendampingi bahasa Hindi yang mendapat penentangan dari banyak penutur bahasa lain di India.

Sejarah bahasa Indonesia dimulai dari bahasa Melayu. Bahasa inilah yang menjadi lingua franca di antara penduduk pesisir pantai dengan para pedagang yang datang dari berbagai negara di dunia seperti dari India, Jazirah Arab, Afrika, Asia, dan Eropa. Bahasa Melayu telah menjadi bahasa perdagangan yang tersebar penggunaannya mulai dari pesisir pantai Aceh, Malaka, Singapura, seluruh pantai yang menghadap ke Laut Jawa, sampai ke Pulau Luzon dan Mindanao di Filipina. Hal ini sudah berlangsung jauh sebelum orang-orang Eropa, yang kemudian menjajah negara kita, datang ke Indonesia.

Pada saat Belanda, penjajah Indonesia akan mendirikan sekolah, karena mereka memerlukan tenaga kerja yang murah, dipilihlah bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di dalam pengajaran. Hal ini dilakukan Belanda karena mereka tahu bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa yang paling luas wilayah penyebarannya dan paling banyak penuturnya. Para pedagang yang membawa barang ke semua pesisir, berkomunikasi dengan dengan orang-orang yang di tempat yang ditujunya dengan menggunakan bahasa Melayu. Lama kelamaan orang-orang dari suku yang berbeda berkomunikasi khususnya dalam perdagangan, menggunakan bahasa Melayu. Dengan demikian, bahasa Melayu tidak semata-mata digunakan orang Melayu melainkan juga orang-orang dari suku lain dalam wilayah penyebaran yang luas.

Pada tahun 1908 Belanda mendirikan taman bacaan rakyat  atau volkslectuur. Tahun 1917  volkslectuur diubah namanya menjadi Balai Pustaka. Buku-buku yang dihasilkan Balai Pustaka ini, melalui perpustakaan yang ada di sekolah, dipinjamkan kepada masyarakat luas. Hal ini tanpa disadari Belanda telah turut memperluas wilayah penyebaran bahasa Melayu (Badudu, 1992: 4). Selanjutnya, pada tanggal 25 Juni 1918 atas desakan orang Indonesia yang menjadi anggota Volksraad (= dewan perwakilan rakyat), ditetapkan bahwa orang Indonesia boleh menggunakan bahasa Melayu dalam sidang-sidangnya. 

Dua peristiwa penting lainnya yang berkenaan dengan kelahiran bahasa Indonesia, adalah tanggal 28 Oktober 1928. Pada hari itu para pemuda mendeklarasikan pengakuan terhadap bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bagi seluruh bangsa Indonesia. Nama bahasa “Indonesia” itu sendiri merupakan gagasan Mr Muhammad Yamin.

Peristiwa kedua adalah tanggal 17 Agustus 1945. Pada hari itu Sukarno dan Muhammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai undang-undang dasarnya. Pada Pasal 16 Bab XV UUD tahun 1945, secara eksplisit disebutkan “Bahasa negara adalah bahasa Indonesia”.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, (1) bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Melayu. (2) Secara de facto bahasa Indonesia telah lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. (3) Secara de jure bahasa Indonesia lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara seperti tercantum pada Pasal 16 Bab XV UUD 1945.

2. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia ditempatkan pada kedudukan yang istimewa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ada dua kedudukan penting yang ditempatiu bahasa Indonesia, yaitu (1) bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan (2) bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara telah dikukuhkan secara kuat dengan dinyatakan secara eksplisit pada UUD tahun 1945 Bab XV Pasal 16 bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Hal ini mengandung pengertian bahwa semua kegiatan kenegaraan di Indonesia harus dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Semua kegiatan administrasi dan dokumen kenegaraan wajib menggunakan bahasa Indonesia. Upacara-upacara dan kegiatan-kegiatan kenegaraan lain, baik yang sifatnya formal maupun informal wajib menggunakan bahasa Indonesia.  Apabila ada dokumen yang yang sifatnya internasional, misalnya yang menyangkut kerjasama dengan negara lain yang berbahasa Inggris, maka dokumen itu harus ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Dengan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, telah mewajibkan semua dokumen penting dan kegiatan administrasi kedinasan yang berada dalam wilayah kekuasaan negara Indonesia wajib berbahasa Indonesia. Bukan hanya kegiatan administrasi kepresidenan, melainkan semua lembaga pemerintahan, lembaga kemasyarakatan, lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, sampai ke tingkat rukun warga dan rukun tetangga wajib ditulis dalam bahasa Indonesia. Ini berarti bahwa bahasa Indonesia harus dipergunakan dalam semua administrasi kenegaraan dan pemerintahan, termasuk di dalamnya dalam kegiatan-kegiatan lisan seperti pada upacara bendera, rapat kenegaraan dan pemerintahan, serta aktivitas lainnya yang berhubungan dengan negara dan pemerintahan. Demikian pula halnya dengan nama-nama lembaga pemerintahan.

Dengan demikian, dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia mewajibkan semua semua aparat pemerintahan dan warga negara Indonesia untuk menjadikana bahasa Indonesia sebagai:
1)     bahasa resmi kenegaraan,
2)     bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan,
1)     bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan, serta
2)     bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. alat pemersatu masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial, budaya, dan bahasanya, dan alat perhubungan antarbudaya, antardaerah

Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Mengandung pengertian bahwa bahasa Indonesia harus menjadi: (1) lambang identitas nasional dan (2) lambang kebanggaan nasional. Artinya, bahasa Indonesia harus menjadi ciri ke-Indonesiaan. Semua orang Indonesia harus mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Semua orang Indonesia tidak boleh merasa rendah diri karena berbahasa Indonesia. Sebaliknya, kita harus merasa bangga karena memiliki bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa.

Bahasa Indonesia harus diutamakan sebagai bahasa dalam komunikasi di antara warga negara yang berasal dari suku yang berlainan. Walaupun demikian, pada kegiatan berkomunikasi sehari-hari di antara warga dalam suku yang sama masih dipergunakan bahasa daerahnya. Dengan demikian, bahasa daerah akan tetap hidup dan dipergunakan dalam kegiatan komunikasi antarpersonal dalam satu suku bangsa, sedangkan dalam komunikasi antarpersonal yang berbeda suku bangsa dipergunakan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia.

@salam dari Asep Nurjamin di Bumi Guntur Melati

(2) BAGAIMANA MANUSIA MEMAHAMI UJARAN



Dr. Asep Nurjamin

Pada pertemuan sebelumnya telah dikemukakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi pemahaman kita terhadap ujaran, yaitu: (1) pengetahuan dunia, (2) strategi sintaktik, serta (3) strategi semantik (Darjowijoyo, 2003:67). Ketiga kemampuan inilah yang akan mempengaruhi keterpahaman sebuah teks.

Pada dasarnya, setiap manusia telah memiliki ketiga kemampuan tersebut. Akan tetapi, keluasan dan kedalamannya berbeda-beda pada setiap orang sehingga pemahaman setiap orang terhadap sebuah teks tidak akan sama. Teks atau kalimat yang berada dalam jangkauan ketiga kemampuan tersebut akan bisa dipahami dengan mudah. Sebaliknya, teks yang berada di luar jangkauannya akan relatif sulit dipahami.

Selanjutnya, ketiga faktor ini akan dibicarakan satu persatu.

Pengetahuan dunia. Istilah ini sebenarnya dapat diganti dengan istilah ‘pengalaman” yang merujuk pada apa yang telah diketahui pada masa lalu. Hal-hal yang telah kita ketahui pada masa lalu menjadi modal untuk memahami sebuah ujaran. Pengalaman ini tiada lain pengetahuan tentang kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam kegiatan masyarakat. Semakin banyak yang kita ketahui semakin banyak pengalaman yang pada akhirnya akan mempermudah pemahaman terhadap ujaran. Walaupun demikian, perlu disadari bahwa tidak setiap yang kita alami akan menjadi pengetahuan dan pengalaman kita. Segala sesuatu yang kita alami baru akan menjadi pengetahuan yang membantu kita dalam memahami ujaran, apabila kita memberi makna terhadap apa yang kita alami itu.

Pengalaman yang tidak diberi makna hanya akan lewat begitu saja, tidak akan menjadi milik kita dan memperkaya wawasan kita. Oleh karena itu, luas atau tidaknya wawasan seseorang atau pengetahuan tentang dunia yang dimiliki seseorang tidak identik dengan tinggi rendahnya usia seseorang. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa pengetahuan tentang dunia itu sama perannya dengan pengetahuan siap. Pengetahuan siap itu sendiri dibangun melalui pengalaman yang diberi makna. Oleh karena itu, pemaknaan terhadap apa yang dialami akan menentukan bertambah atau tidaknya pengetahuan siap seseorang.

Pengetahuan tentang dunia tersebut di atas secara sederhana dapat diartikan pula sebagai pengetahuan tentang budaya dalam masyarakat tertentu. Dalam memahami teks sastra pengetahuan seperti ini disebut Teeuw (1988) sebagai kode budaya. Tentu saja, setiap bahasa memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Oleh karena itu, latar belakang budaya masyarakat Indonesia berbeda dengan latar belakang budaya masyarakat lainnya. Setiap masyarakat memiliki kebiasaan-kebiasaan yang berbeda. Dengan demikian, pengetahuan dunia yang dimiliki oleh seorang penutur bahasa Indonesia tidaklah cukup untuk dijadikan pengetahuan siap dalam memahami ujaran dalam bahasa Arab, misalnya.

Strategi sintaktik. Strategi ini merupakan kemampuan dari segi struktur kebahasaan yakni pengetahuan mengenai kebiasaan-kebiasaan dalam kalimat bahasa Indonesia. Jika ada seseorang yang mengatakan “Saya akan pergi ke …”. Dalam pikiran kita muncul bayangan tentang nama tempat. Hal ini terjadi karena begitulah kebiasaan dalam bahasa Indonesia. Kata depan “ke” biasanya diikuti dengan nama tempat. Demikian pula halnya dengan contoh kalimat “Orang itu pergi dengan wajah       ”. Bagian yang kosong dalam kalimat seperti itu biasanya diisi dengan kata sifat, seperti “sedih”, “kecewa”, “duka”, dan yang sejenisnya. Apabila kitak menemukan kata yang tertulis “lamu” dalam kalimat “Setibanya di ruangan, dengan segera ia menyalakan lamu”. Secara otomatis kita dapat menebak bahwa telah terjadi salah tulis. Kata itu seharusnya tertulis “lampu” bukan “lamu”.

Strategi semantik. Pengetahuan yang dimiliki seseorang mengenai aspek makna dalam struktur kalimat akan sangat membantu memahami ujaran. Perhatikanlah kalimat ini!

“Dalam sekejap Rani dan Rina berlalu dari hadapanku. Keduanya seperti menyisakan kehampaan dalam ruang batinku”.

Perhatikanlah kata “keduanya” pada kalimat yang kedua! Apabila kita tidak melihat kalimat yang pertama niscaya kita tidak dapat memahami “siapa sebenarnya yang dimaksud dengan kata ‘keduanya’“ tersebut. Inilah salah satu contoh penggunaan strategi semantik dalam memahami ujaran.
        
@salam dari Asep Nurjamin di Bumi Guntur Melati


SALAH TULIS

Hermawan Aksan wartawan Tribun Jabar KITA biasa menyebutnya typo, dari istilah typographical error. Maknanya, kesalahan ketik atau salah ket...