METODE KRITIK
SASTRA
Oleh: Dr. Asep Nurjamin
Oleh: Dr. Asep Nurjamin
1. Pengantar
Pada dasarnya, setiap pembaca karya sastra adalah kritikus sastra.
Setelah membaca, mendengar, atau menonton pertunjukkan sastra, dalam diri
seseorang akan muncul penilaian mengenai
baik buruknya karya yang dinikmatinya tersebut. Jika tidak, sekurang-kurangnya,
dalam dirinya akan muncul perasaan suka atau tidak. Apalagi apabila disertai
dengan uraian yang lebih rinci mengenai bagian-bagian tertentu yang dia senangi
atau yang sebaliknya. Inilah penilaian, inilah kritik. Akan tetapi, orang-orang
seperti itu tidak dapat dikategorikan sebagai kritikus karena dia tidak
mempublikasikan hasil penilaiannya itu. Jadi, untuk disebut kritikus, hasil
penilaian seseorang mengenai karya sastra itu harus disampaikan kepada kalangan
yang luas.
Walaupun demikian,
kritik sastra yang diumumkan itu memerlukan tanggung jawab yang lebih.
Penilaian baik atau buruknya sebuah karya sastra harus didasarkan pada dasar
pertimbangan yang logis dan harus dapat diterima oleh orang lain. Dalam hal
inilah letaknya perbedaan antara kritik sastra yang tidak dipublikasi dengan
kritik sastra yang dipublikasi. Untuk itu, seorang kritikus sastra dituntut
memiliki pengetahuan yang cukup mengenai teori, metode, dan karya sastra itu
sendiri yang merupakan objek kritik dari sastra (Yudiono, 1986: 25).
2. Dua Aliran Kritik Sastra
Indonesia Setelah Tahun 1966
Berkenaan dengan teori kritik sastra di Indonesia,
dikenal ada dua aliran kritik, yaitu kritik Rawamangun dan kritik Ganzheit.
Kritik Rawamangun adalah teori kritik yang berkembang pada lingkungan Fakultas
Sastra Universitas Indonesia dengan tokohnya yang terkenal di antaranya adalah
M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, dan S. Effendi. Pada pihak lain,
kritik Ganzheit dengan Arief Budiman dan Goenawan Mohamad sebagai
tokohnya.
Kritik sastra Rawamangun adalah kritik yang mengutamakan
penilaian terhadap karya sastranya itu sendiri. Hal ini muncul sebagai upaya
untuk memperbaiki kualitas karya sastra yang pada sampai tahun 1966 lebih mempertimbangkan
aspek ideologi pengarangnya daripada karya sastra itu sendiri. Hal lain di luar
karya sastra tidak boleh menggeserkan fokus penilaian dari karya sastra yang
sejak awal telah ditetapkan sebagai objek studinya. Ideologi pengarang hanya
boleh dipertimbangkan manakala hal itu akan dapat membantu kritikus untuk lebih
memahami karya sastra tersebut.
Dalam konteks
teori yang lebih luas, kritik Rawamangun ini dapat dikategorikan sebagai
wujud dari prinsip aliran Strukturalisme. Di dalamnya, kritikus melakukan
penilaian karya sastra berdasarkan patokan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Semua karya sastra dinilai berdasarkan kandungan unsur intrinsiknya.
Kritik sastra Ganzheit adalah kritik sastra yang
memandang setiap karya sastra sebagai sesuatu yang unik, khas, dan memiliki
karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, karya sastra tidak boleh dinilai
sama ratakan. Kritikus harus menggunakan sistem nilai yang berbeda untuk setiap
karya agar dapat secara komprehensif dapat mengangkat dan menemukan keunggulan
dan kelemahan yang dimilikinya. Penggunaan patokan yang sama untuk setiap karya
sastra cenderung akan mengabaikan keunikan yang dimiliki sebuah karya sastra.
3. Empat Pendekatan Besar dalam
Kritik Sastra Dunia
Apabila kita perhatikan lebih saksama akan kita ketahui bahwa kritik
sastra yang berkembang di Indonesia itu, mau tidak mau, harus hubungkan dengan
perkembangan kritik sastra di belahan bumi lainnya. Setidaknya kita dapat
melihat bagaimana keterkaitan antara kritik sastra kita dengan empat aliran besar
kritik sastra di dunia, sebagaimana dikatakan
Abrams (1971) dalam bukunya yang berjudul A
Glossary of Literary Terms, yaitu (1) kritik mimetik, (2) kritik pragmatik,
(3) kritik ekspresif, dan (4) kritik objektif. Pembahasan terhadap keempat pendekatan kritik
sastra tersebut dalam tulisan ini hampir sepenuhnya didasarkan pada pendapat A.
Teeuw dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra yang diterbitkan Pustaka Jaya (2003).
Kritik mimetik adalah sebuah pendekatan
kritik sastra yang melakukan penilaian terhadap kualitas sebuah karya sastra
berdasarkan keyakinan bahwa karya sastra itu merupakan hasil peniruan terhadap
kenyataan yang merupakan wujud dari nilai-nilai yang ideal. “Seni hanya dapat
meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak, jadi
berdiri di bawah kenyataan itu sendiri dalam hierarki”. Seni yang baik harus
benar dan seniman harus rendah hati, dia harus harus tahu bahwa lewat seni dia
hanya dapat mendekati yang ideal dan jauh dari serba salah” (Teeuw, 2003:
181-182).
Karya sastra yang
paling tepat dalam menggambarkan kenyataan adalah fiksi. Fiksi adalah bentuk
karya sastra yang paling bersifat mimetik. Fiksi adalah gambaran kehidupan nyata.
Tokoh-tokohnya harus mirip dengan tokoh manusia yang sesungguhnya. Jalan
ceritanya harus logis seperti jalan kehidupan manusia yang sesungguhnya. Semua
yang ditampilkan dalam fiksi harus benar-benar mirip dengan gambaran kenyataan dalam
kehidupan. Walaupun demikian, fiksi sebagai lukisan kehidupan dipengaruhi pula
oleh konvensi sastra. Dengan demikian, fiksi adalah kombinasi tiruan kenyataan
dengan tradisi kesastraan.
Pendekatan mimetik
ini dalam praktiknya telah melahirkan aliran baru seperti realisme, romantisme,
dan naturalisme. Para penganut pendekatan ini berpendapat bahwa karya sastra
itu harus setia terhadap fakta. Akan tetapi, seperti dikatakan Teeuw (2003:
193) lebih lanjut bahwa di dalam mimetik dan semua turunannya itu masih tetap
ada unsur kreativitas penulisnya. Kegiatan kreatifnya itu ditandai dengan: (1)
memilih satu kenyataan yang akan
dikisahkan atau digambarkan, (2) menciptakan struktur naratif, (3) menentukan
sudut pandang, (4) menentukan bahasa seperti pilihan kata, metafor, dan
komposisi kalimat, (5) sosio menyelaraskan karyanya dengan sosio-budaya, (6)
serta memperhatikan aspek kesastraannya.
Kritik Pragmatik, adalah sebuah pendekatan kritik sastra
yang melakukan penilaian terhadap kualitas sebuah karya sastra berdasarkan
keyakinan bahwa karya sastra itu harus dapat dinikmati dan memberi manfaat.
Dapat ditegaskan bahwa para penganut pendekatan ini meyakini bahwa yang dapat
dinikmati itu adalah karya sastra yang mengandung keindahan. Keindahan yang
dimaksud adalah keindahan yang dapat dinikmati pembacanya. Demikian juga segi
manfaat, yang dimaksud adalah manfaat bagi pembacanya. Dengan demikian, menurut
pendekatan ini setiap karya sastra itu harus memperhitungkan pembacanya sejak
karya itu akan dibuat.
Dalam perkembangannya, kritik pragmatik telah melahirkan
teori resepsi, yaitu sebuah teori yang menyerahkannya makna kepada pembacanya.
Tentu saja makna yang ditentukan pembaca itu harus berpangkal pada sistem tanda
yang ada pada karya sastra itu. Dari sini muncul kesepakatan bahwa karya sastra
yang baik itu harus memberi ruang kepada pembacanya untuk menafsirkan isinya
berdasarkan sudut pandang, keyakinan, pengalaman, atau daya imajinasi
pembacanya. Oleh karena itu, menurut mereka, karya yang baik itu adalah karya
yang dapat mengaktifkan daya cipta pada diri pembacanya.
Kritik ini juga memperhitungkan dampak karya sastra
bukan saja kepada pembaca sebagai individu tetapi lebih luas dari itu. Sastra
harus dipandang juga pengaruhnya terhadap masyarakat. Dari sini muncullah
pandangan sosiologi sastra. Dalam sosiologi sastra ditentukan peran karya
sastra bagi masyarakatnya juga sebaliknya diperhitungkan juga pengaruh
masyarakat terhadap karya sastra.
Persoalan penting yang harus diperhitungkan dalam kritik
ini adalah tanggapan pembaca dan masyarakat terhadap sebuah karya sastra.
Inilah inti dari teori resepsi. Untuk mengetahui resepsi pembaca atau
masyarakat terhadap sebuah karya sastra, biasanya dilakukan dengan tiga
langkah. Pertama, mintalah seseorang atau sekelompok orang untuk membaca sebuah
karya sastra. Kedua, berilah mereka kesempatan untuk menginterpretasi karya
tersebut. Ketiga, berilah mereka kesempatan untuk memberi tanggapan terhadap
karya sastra tersebut baik dari segi keindahannya maupun dari segi manfaatnya.
Keempat, peneliti mengategorikan, membandingkan, dan menafsirkan hasil
interpretasi dan tanggapan para pembaca yang menjadi respondennya.
Kritik Ekspresif adalah sebuah pendekatan kritik sastra yang melakukan penilaian
terhadap kualitas sebuah karya sastra berdasarkan keyakinan bahwa karya sastra
itu ditentukan oleh suasana hati dan keadaan jiwa penulisnya. Kepercayaan,
kecenderungan, keberpihakan, cita rasa, harapan, serta cita-cita, serta tujuan
seorang penulis akan wujud dalam karyanya. Tidak ada sebuah karya pun yang
terbebas dari pengaruh penulisnya. Fakta menarik yang dijadikan fokus karyanya
tidak mungkin ditampilkan kembali apa adanya atau ala kadarnya, melainkan telah
melalui proses transformasi, pengolahan, pemikiran, kontemplasi, perenungan,
dan dialog yang intensif di dalam diri dan jiwa pengarangnya. Oleh karena itu,
pendapat yang menyatakan bahwa karya sastra itu “anak kandung” atau “buah
pikiran” yang merupakan penjelmaan dari apa yang dipikirkan dan dibayangkannya.
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa dalam
kritik ekspresif kita melihat hubungan di antara karya sastra dengan
pengarangnya. Oleh karena itu, menurut pendekatan ini, untuk memahami secara
utuh sebuah karya kritikus harus mempelajari profil pengarangnya. Apa yang
dirasakan pengarang pada saat proses penciptaan sebuah karya sastra. Berdasarkan
pentingnya melihat hubungan pengarang dengan karyanya ini banyak kritikus yang
memperhitungkan proses kreatif dari lahirnya sebuah karya. Secara faktual juga
kita melihat betapa antusiasnya pembaca untuk mengetahui rahasia dibalik proses
penciptaan sebuah karya. Dalam perjumpaan dengan pengarang, proses kreatif
merupakan sebuah pertanyaan yang senantiasa diajukan seorang pembaca kepada
seorang pengarang.
Pemikiran tentang hubungan antara karya sastra dengan
pengarangnya inilah yang melahirkan penolakan terhadap sebuah karya sastra.
Sebuah karya sastra ditolak masyarakat atau dilarang beredar oleh pemerintah
karena karya sastra tersebut dilahirkan oleh pengarang yang dianggap memiliki
keyakinan yang dilarang pemerintah. Satu hal yang harus diingat bahwa
pembicaraan tentang pengarangnya itu jangan sampai mengalahkan perhatian dari
pusat studinya, yaitu karya sastranya itu sendiri.
Kritik Objektif adalah sebuah pendekatan kritik sastra yang melakukan penilaian
terhadap kualitas sebuah karya sastra berdasarkan keyakinan bahwa karya sastra
itu adalah sebuah dunia yang otonom. Kritik terhadap karya sastra harus
dilakukan terhadap karya sastranya itu sendiri, bukan hal lain di luarnya.
Menurut pendekatan ini karya sastra itu merupakan sebuah struktur
yang utuh dan bulat yang dibangun oleh berbagai unsur yang saling berhubungan
dan bekerja sama membentuk sebuah kesatuan yang utuh. Makna sebuah karya sastra
itu dibangun oleh makna setiap unsurnya.
Asumsi dasarnya adalah setiap karya sastra itu adalah sebuah
keseluruhan, kesatuan, dan kebulatan makna dan kebulatan koherensi. Dengan
demikian, untuk memahami sebuah karya sastra diperlukan pemahaman terhadap
setiap unsur pembangunnya kemudian diteliti bagaimana hubungan di antara setiap
unsur tersebut.
Pada lingkungan
pendidikan kritik ini sering disebut sebagai kritik intrinsik. Sebuah
pendekatan yang mendapat tempat istimewa dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Sebagian besar buku-buku pelajaran tentang apresiasi sastra, mulai dari
pendidikan dasar sampai ke pascasarjana, mengarahkan siswa dan mahasiswa untuk
menggunaan pendekatan kritik ini. Padahal, sebagian besar ahli sastra dan
kritikus sastra di Indonesia, di antaranya H.B Jassin, A. Teeuw, atau Ajip
Rosidi serta sejumlah kritikus lainnya tidak menyarankan penggunaan pendekatan
ini.
4. Penutup
Semua kritik sastra yang ada di dunia saat ini, sebenarnya dapat
dikembalikan pada keempat pendekatan asalnya, yaitu kritik mimetik, kritik
pragmatik, kritik ekspresif, serta kritik objektif. Pada kritik mimetik nilai
karya sastra ditentukan kualitas peniruan alam yang digambarkan dalam sebuah
karya sastra. Dalam kritik pragmatik nilai karya sastra ditentukan oleh
bermanfaatannya bagi individu maupun masyarakat. Dalam kritik ekspresif nilai
karya sastra turut ditentukan oleh orang yang menghasilkannya, sedangkan pada
kritik objektif nilai sebuah karya sastra ditentukan oleh kualitas unsur-unsur
pembentuknya.
Menurut Anda, kritik Rawamangun dan Kritik Ganzheit itu dapat
dikategorikan ke dalam kritik yang mana?
5. Rujukan
Lodge, David.
(ed). 1988. Modern Criticism and Theory. Longman:
London and New York.
Suwardi,
Endraswara. (2013). Prinsip, Falsafah,
dan Penerapan: Teori Kritik Sastra.
CAPS: Jakarta.
Rosidi, Ajip.
2013. Laut Biru Langit Biru. Pustaka
Jaya: Jakarta.
Teeuw, A.
(2003). Sastra dan Ilmu Sastra.
Pustaka Jaya: Jakarta.
Yudiono, K.S.
(1986). Telaah Kritik Sastra Indonesia.
Angkasa: Bandung.
Wellek, Rene
& Austin Warren. (1993). Teori
Kesusastraan. Terjemahan Eka Budianta.
Gramedia: Jakarta.
No comments:
Post a Comment