Showing posts with label fakta dalam sastra. Show all posts
Showing posts with label fakta dalam sastra. Show all posts

Thursday, December 26, 2019

SASTRA ADALAH FIKSI


SASTRA ADALAH FIKSI
Oleh: Asep Nurjamin

Peristiwa dalam sastra adalah peristiwa fiksi, imajinatif. Oleh karena itu, semuanya harus kita anggap sebagai peristiwa yang memiliki tingkat kesesuaian yang rendah dengan fakta yang sesungguhnya. Apa pun  yang ada dalam sastra harus dipandang sebagai rekaan. Peristiwa nyata yang sudah ditampilkan dalam bentuk sastra jangan dianggap sebagai sebuah peristiwa yang secara seratus persen persis sama dengan peristiwa yang sebenarnya.
            Dari paragraf di atas kita ketahui bahwa, ide dasar dari sastra itu bisa fakta bisa juga khayalan.  Akan tetapi, jika kita menuliskan sebuah peristiwa secara apa adanya, faktual, tepat sesuai fakta, tidak ada yang ditambah atau dikurangi itu berarti kita tidak sedang menulis karya sastra. Karya sastra harus memenuhi syarat sebagai karya rekaan. Semua atau sebagian fakta yang ada, untuk jadi karya sastra harus direka, biasanya dibuat jadi lebih indah, lebih dramatik, lebih hidup, lebih menarik, lebih menghibur.
Hal ini dilakukan  untuk memenuhi tujuan estetika sastra karena sastra dibuat untuk tujuan estetik bukan untuk tujuan informatif. Apakah sastra tidak berisi informasi? Bukan begitu. Karya sastra juga dapat menjadi sumber informasi. Akan tetapi, informasi dalam karya sastra bukan informasi yang akurat, tepat, dan objektif karena ia merupakan hasil pandangan atau kesan subjektif penulisnya.    
            Walaupun demikian, banyak orang yang beranggapan bahwa karya sastra itu mencerminkan kebudayaan suatu bangsa atau suku bangsa. Pernyataan ini tidaklah benar. Jika kita ingin mengetahui kebudayaan suatu bangsa atau suku bangsa bacalah buku antropologi karena semua yang ada dalam sastra itu walaupun pada asalnya merupakan fakta itu tetapi itu tak lebih dari impresi sastrawannya. Oleh karena itu, fakta dalam karya sastra lebih merupakan kesan pribadi sastrawan atau bahkan pandangan subjektif penulisnya. Apakah itu merupakan fakta yang keobjektifannya dapat dipertanggungjawabkan? Jawabannya, belum tentu fakta itu benar-benar faktual karena fakta dalam karya sastra tidak dipandang dengan menggunakan logika dan penalaran yang secara ketat harus dijaga.
Fakta dalam sastra adalah fakta yang lebih banyak dipandang dengan menggunakan perasaan. Benar, di dalam sastra pun ada logika. Akan tetapi, logika sastra adalah logika yang berbeda dengan yang berlaku dalam kehidupan biasa. Dalam sastra, seorang jagoan bisa berkelahi ratusan kali dalam sehari tanpa kekalahan, bahkan dapat mengalahkan dua tiga lawan sekaligus. Dalam sastra, seorang tokoh dapat hidup berpoya-poya setiap hari. Tidur di hotel mewah, naik kendaraan mewah, makan di restoran mahal tapi tidak dikisahkan dari mana dia dapat uang. Ini sesuatu yang tidak logis dalam kehidupan kita sehari-hari. Di dalam karya sastra, seolah tidak berlaku hukum logika, “untuk dapat uang orang mesti bekerja”.
Logika dalam sastra adalah logika sastra yang khas dan unik. Ini yang perlu kita pahami. Logika sastra tidak bisa disamakan dengan logika hidup yang sebenarnya. Dalam puisi, misalnya. Seorang penyair menulis kalimat “Aku berjalan melewati bintang”. Pantaskah kita bertanya, “Memang Anda bisa berjelan-jalan ke langit?”. “Pesawat apa yang Anda kendarai?”. Ini pertanyaan yang lucu. Tidak sepantasnya kita bertanya seperti itu. Dalam sastra, ungkapan seperti itu dianggap lumrah saja. Tak akan ada yang bisa membantah. Jangan menanyakan benar atau salah! Pembaca sastra akan menerimanya sebagai sebuah keindahan. Ingat saja, gaya bahasa “melebih-lebihkan” atau “mengurang-ngurangkan”.
Jadi, fakta di dalam sastra bukan fakta yang benar-benar dapat dipercaya melainkan fiksi. Akan tetapi, kita menemukan bahwa peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam karya sastra terasa hidup dan nyata. Inilah ciri sastra berikutnya. Fakta yang sebenarnya hanya ada dalam angan-angan pengarangnya akan direka sedemikian rupa agar tampak seperti nyata. Apa yang dikhayalkan pengarangnya itu dibuat dan ditampilkan dengan tujuan agar pembaca atau penonton merasakannya sebagai peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi. Banyak pembaca dan penonton yang merasa bahwa kisahnya itu mirip dengan kisah hidup yang dialaminya. Hal ini semata-mata merupakan bukti kelihaian seorang sastrawan. 
Sastra juga bukan media untuk komunikasi sehari-hari. Setiap orang yang menghasilkan sastra memiliki tujuan untuk menyampaikan gagasan, pendapat, permintaan, ajakan, bujukan, permohonan atau hal lainnya. Akan tetapi terdapat perbedaan yang sangat mendasar di antara bersastra dengan berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berkomunikasi biasa bahasa dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan praktis. Misalnya, menyuruh orang membelikan makanan, meminta orang berhenti ngobrol, menawar harga barang, mengajak orang pergi ke mesjid, melarang anak bermain game, dan sebagainya. Untuk mencapai tujuan itu, dalam komunikasi sehari-hari kita berusaha agar isi pembicaraan kita dipahami oleh lawan bicara.
Sastra dipilih orang sebagai media untuk menyampaikan sesuatu yang tidak selalu meminta kita melakukan sesuatu saat ini dan di sini. Apabila kita meminta seseorang untuk menutup pintu, tidak wajar kalau memilih komunikasi dalam bentuk puisi, cerpen, atau novel.
Komunikasi dalam sastra bukanlah komunikasi yang efektif, bukan pula komunikasi yang praktis dan tepat sasaran. Dalam sastra tidak berlaku moto, “singkat, padat, dan mudah dipahami”. Oleh karena itu, isi sastra sering tidak terpahami. Sering ditafsirkan salah karena memang penulisnya sendiri ingin menyembunyikan maksud, makna, pesan, atau amanatnya. Dalam komunikasi biasa, pembicara akan mencari bentuk yang paling mudah dipahami dan tidak menimbulkan salah tafsir. Pembicaraannya harus jelas dan lugas. Dalam sastra, kejelasan dan kelugasan ini tidak dianggap penting. Sastrawan hanya ingin mengekspresikan keindahan yang merupakan pengalaman batinnya.
Sastra dibuat tidak selalu dibuat untuk dipahami tetapi untuk dinikmati. Dengan demikian, dalam komunikasi sehari-hari kita berusaha agar pembaca atau lawan bicara kita memahami isi pembicaraan kita sedangkan dengan sastra penulis berharap agar pembacanya dapat merasakan keindahannya.
Ada kalanya, orang memerlukan waktu berkali-kali membaca sebuah karya, khususnya puisi untuk memahami apa isinya. Bahkan, ada karya yang sama sekali tidak dapat dipahami isinya. Hal ini dipandang sesuatu yang lazim dalam sastra. Ketidakterpahaman maksud dan isi pesannya tidak akan dianggap sebagai sebuah kegagalan dalam bersastra. Coba Anda bayangkan apabila itu dialami pembaca atau pendengar dalam komunikasi sehari-hari! Pasti itu akan dianggap komunikasi yang gagal karena keduanya saling tidak memahami maksud masing-masing. Lebih dari itu, itu akan dianggap sebagai percakapan yang gagal, tidak saling memahami.

Wallahu a’lam.
@salam untuk mahasiswa Krtitik Sastra S-2 UMP 2019 dari Asep Nurjamin di Bumi Guntur Melati

SALAH TULIS

Hermawan Aksan wartawan Tribun Jabar KITA biasa menyebutnya typo, dari istilah typographical error. Maknanya, kesalahan ketik atau salah ket...