Saturday, June 20, 2020

MEMBUKA RAHASIA MAKNA PUISI


Dr. Asep Nurjamin



    “A poem says one thing and means another” (Riffaterre, 1978: 1)



Puisi itu bukanlah karya tulis biasa. Puisi bukanlah sarana berkomunikasi seperti dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita meminta seseorang membukakan pintu, tidak tepat kalau kita memilih berpuisi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa puisi itu berbeda dengan bahasa komunikasi biasa.

Perbedaan yang paling tampak antara puisi dengan bahasa komunikasi sehari-hari adalah dari segi keterpahamannya. Kalau kita mengajak teman belajar bersama, tentu kita harus menggunakan kalimat yang mudah dipahami. Misalnya, “Belajar bersama, yuk!” atau kalimat sejenis yang “mudah dipahami”. Inilah prinsip komunikasi sehari-hari, kalimat kita harus mudah dipahami. Untuk itu, pembicara atau penulis harus: (1) menggunakan bahasa yang sama-sama dipahami. (2) Kalimat yang tidak akan menimbulkan salah tafsir. Tujuan utama dari komunikasi biasa adalah “keterpahaman”. Kita bicara untuk dipahami.

Dalam puisi, orang melakukan hal sebaliknya. Puisi dibuat tidak untuk dipahami. Puisi dibuat untuk dinikmati. Penulisnya hanya ingin berekspresi. Pesan di dalamnya disampaikan secara tersembunyi terselubung sehingga tidak dapat dipahami dengan jelas.  Keindahan dalam puisi adalah keindahan yang tersembunyi. Keindahannya baru kita rasakan setelah kita memikirkan dan merenungkannya. Oleh karena itu, ketika akan membaca puisi niatkanlah untuk menikmatinya bukan untuk memahaminya.

Keindahan puisi itu sendiri memiliki dua sisi yang berlawanan atau saling melengkapi. Ada puisi yang diniatkan penulisnya untuk melahirkan keindahan menurut diri penulisnya sendiri tanpa memperhitungkan apakah puisinya akan dirasakan pula keindahannya oleh pembacanya. Penulis ini mengambil prinsip, yang penting saya berekspresi. Silakan temukan sendiri keindahannya.

Ada pula puisi yang diniatkan penulisnya untuk dapat dinikmati pembacanya. Puisi jenis ini dapat dibedakan atas puisi yang dapat langsung dipahami dalam sekali baca. Ada pula puisi yang harus dibaca berulang-ulang, direnungkan, dan direka-reka sendiri oleh pembacanya sebelum dapat dipahami dengan utuh.



Apa yang membuat puisi sulit dipahami?

Puisi adalah karya seni yang menggunakan bahasa sebagai media. Dalam puisi, bahasa yang wujud dalam bentuk kata-kata merupakan refresentasi dari makna yang ada dalam pikiran dan perasaan penulisnya. Dengan demikian, dalam sebuah puisi, kita dapat melihatnya dari dua segi, yaitu segi isinya dan segi bahasanya.  

Isi sebuah puisi tidaklah selalu berupa hal-hal yang luar biasa. Semua orang pernah jatuh cinta pada alam, pada manusia, pada Tuhan, atau pada apa saja. Pernah pula patah hati. Pernah pula ditinggal kekasih. Pernah pula dikhianati dan ditingal pergi begitu saja.

Dari segi isi, semua sama. Semua rata. Tidak ada yang istimewa. Akan tetapi, setiap penulis akan melahirkan puisi yang berbeda. Tidak boleh ada dua puisi yang identik bahkan mirip sekalipun. Sebagai sebuah karya seni, setiap puisi harus memenuhi dua ciri universal dari karya seni, yaitu asli dan baru.

Dari segi bahasanya, puisi dibangun dengan kata-kata. Dalam hal ini,  puisi dapat dikatakan sebagai rangkaian kata-kata. Akan tetapi, harus diingat bahwa kekuatan sebuah puisi itu sama sekali bukanlah pada kata-katanya itu sendiri. Sebuah kata akan menjadi kuat dan indah pada saat kata itu digabung dengan kata-kata lainnya. Inilah yang disebut komposisi.

Perhatikan puisi berjudul “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono di bawah ini!



    aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

    dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu



    aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

    dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(1989)



Adakah ditemukan kata-kata yang sulit dipahami? Sama sekali tidak ada. Semua kata dalam puisi tersebut adalah kata-kata yang lazim kita gunakan dan kita dengar dalam  percakapan sehari-hari. Tidak ada kata-kata asing. Semua kata telah kita kenal dengan baik, bahkan begitu sering kita gunakan.

Apakah Anda dapat langsung memahami isi puisi itu? Apa yang membuat isi puisi itu tidak dengan mudah dapat dipahami? Kesulitan kata-katanya atau karena komposisinya? Ayo, jawab!

Benar. Yang membuat puisi ini indah adalah komposisinya. Penulis sangat mahir merangkai kata menjadi kelompok kata yang bermakna dan membuat pembaca berusaha membayangkan wujud dari keagungan dan kemuliaan cinta. Kata “sederhana” dalam puisi itu telah diberi makna khusus, istimewa. Hal ini tak pernah dilakukan penulis lainnya. Kata “sederhana” dalam puisi ini telah diberi makna yang “luar biasa”.

Munculnya pikiran bahwa “cinta yang sederhana” itu bukanlah “sederhana” dalam pengertian yang biasa bukan karena kata “sederhana” itu sendiri melainkan karena kata-kata sebelumnya dan kata-kata sesudahnya. Hal lain yang membuat puisi sulit dipahami adalah kecenderungan penggunaan metafor.

Ketidakterusterangan penulis dalam menyampaikan maksud telah membuat penulis membuat metafor. Metafor merupakan salah satu bentuk yang dipilih untuk menyembunyikan isi. Di samping itu, berfungsi pula untuk membuat kalimat lebih bergaya lebih, lebih hidup, dan lebih menyentuh perasaan.

Salah satu bentuk metafor adalah penggunaan kias atau analogi. Perhatikan makna kata “terluka” pada dua pernyataan di bawah ini!



1.      “Tangannya terluka tersayat pisau”.

2.      “Hatinya terluka teriris kepedihan”



Pernyataan manakah yang menggunakan kata terluka dalam makna yang sesungguhnya?

Pernyataan manakah yang menggunakan kata terluka dalam makna kias?

Adakah perbedaan makna di antara kedua kata terluka pada masing-masing pernyataan di atas?

              Pada pernyataan yang kedua, sebenarnya kita tidak yakin bahwa hatinya benar-benar terluka. Pernyataan ini lebih tepat kalau disebut hatiku seperti terluka. Penulisnya beranggapan demikian karena dia merasakan sakit pada hatinya seperti ketika badannya terluka. Di sini penulis menganggap sakit hatinya seperti sakit pada badannya. Inilah kias. Dua perkara yang berbeda tetapi memiliki sifat yang sama.



Penutup

Seperti dikatakan Riffaterre (1978) bahasa dalam puisi bukanlah bahasa seperti yang kita gunakan sehari-hari walaupun kata-kata dan tatabahasanya sama. Puisi adalah bentuk yang khusus. Kekhususannya penggunaan bahasanya karena pengaruh komposisinya. Sebuah kata disandingkan dengan kata sebelumnya dan kata sesudahnya sehingga membentuk makna baru yang unik.

              Dari segi isinya. Kalau membaca surat, kita harus paham isinya. Harus jelas apa isinya. Kalau kita membaca puisi, kita ingin merasakan keindahannya bahasa dan rahasia makna yang di balik kata-katanya.

Dalam puisi, penulis berusaha menyembunyikan isi sehingga dalam puisi dikenal pernyataannya “begini” tapi maksudnya “begitu” seperti dikatakan Riffaterre, “A poem says one thing and means another”.

              Wallahu a’lam.

@salam dari Asep Nurjamin yang sudah terlanjur mencintai puisi dari Bumi Guntur Melati



Rujukan

Damono, Sapardi Djoko. Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Nurjamin, Asep. 2018. Sastra itu Fiksi. Makalah. tidak dipublikasikan.

Nurjamin, Asep. 2019. Tiga Jenis Karya Sastra. Makalah. Tidak diterbitkan.

Nurjamin, Asep. 2020. Daun-Daun yang Terkenang yang Terlupakan. Garut: IPI Press.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
  



DUA JENIS MEMBACA


Dr. Asep Nurjamin

Secara sederhana, istilah “membaca” dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui isi bacaan. Ini berarti bahwa membaca adalah kegiatan yang dilakukan dengan tujuan. Membaca merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar karena membaca tidak cukup dilakukan dengan melihat saja. Dengan demikian, “membaca” itu bukan sekadar melihat tulisan tetapi lebih dari itu. Untuk dapat mengetahui isi tulisan, kita harus memusatkan perhatian dan berupaya untuk mengerti maksud dan makna dari apa yang tertulis pada bacaan.

            Pada masa kini, setelah ditemukan alat komunikasi yang luar biasa, dengan aplikasi yang hampir menggeser aktivitas berbahasa lisan, seperti Whattsapp, Facebook, Instagram telah meningkatkan status keterampilan membaca. Komunikasi baca tulis lebih banyak menyita waktu dibanding komunikasi lisan. Kehadiran media sosial itu telah memaksa orang-orang untuk lebih banyak melakukan kegiatan berkomunikasi dalam bentuk komunikasi literal, komunikasi baca tulis. Kita sering melihat, orang yang duduk berdekatan atau yang berdampingan sekalipun, kini lebih asyik chating, baca tulis, dengan orang yang berada jauh darinya daripada ngobrol dengan teman yang ada di samping atau di hadapannya.

            Untuk dapat berkomunikasi baca tulis tersebut, tentu saja diperlukan keterampilan yang berbeda daripada keterampilan komunikasi lisan langsung. Kini diperlukan keterampilan menuliskan gagasan untuk menyampaikan maksud. Pada pihak lain, diperlukan keterampilan membaca untuk memahami maksud teman yang disampaikan secara tertulis. Apabila tidak, komunikasi baca tulis akan lebih banyak menimbulkan risiko salah paham dan salah pengertian di antara pengirim dan pembaca pesan. Oleh karena itu, semua pengguna media sosial perlu meningkatkan kemampuannya dalam menuliskan dan membaca pesan.

            Dalam tulisan pendek ini akan dibahas beberapa keterampilan dasar yang diperlukan untuk meningkatkan daya baca.

 Secara garis besar, berdasarkan terdengar atau tidaknya, membaca dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu membaca bersuara dan membaca tanpa bersuara.

1. Membaca Bersuara

Dalam kehidupan sehari-hari, kegiatan membaca bersuara ini sangat terbatas penggunaannya. Seseorang yang menyuarakan isi bacaannya tanpa ada yang memintanya, pasti akan dianggap sebagai gangguan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Jangankan disuarakan, memperdengarkan bunyi desisnya saja akan dianggap sebagai polusi suara. Ini akan membuat orang-orang tidak merasa nyaman berada di dekatnya. Oleh karena itulah, hindarilah membaca bersuara tanpa ada kepentingan bagi orang lain.

Salah satu contoh kegiatan membaca bersuara, misalnya dilakukan pada saat seorang ibu membacakan cerita kepada anak-anaknya, seorang guru yang sedang membacakan pengumuman, penyiar radio yang membacakan berita, seorang pejabat  yang sedang membacakan naskah pidato di hadapan pendengarnya, atau seseorang yang yang sedang membacakan puisi di atas pentas. Ada juga orang yang untuk keperluan tertentu harus membacakan pesan SMS, Whattsapp yang diterimanya. Misalnya, seorang cucu yang diminta membacakan pesan yang diterima neneknya yang sudah tidak bisa melihat tulisan dengan sempurna. Semua itu  dapat digolongkan ke dalam kegiatan membaca bersuara. Kegiatan membaca seperti ini biasanya dilakukan bukan untuk kepentingan pembacanya sendiri melainkan untuk kepentingan orang lain.

              Dari contoh-contoh di atas dapat diketahui bahwa ibu yang disebutkan di atas, yaitu yang membacakan cerita dengan tujuan agar cerita yang dibacanya dapat pula didengar oleh anak-anaknya, seorang guru yang membacakan pengumuman agar pengumuman yang dibacanya itu didengar oleh para siswanya, serta penyiar radio yang membacakan berita untuk para pendengarnya termasuk membaca untuk orang lain. Dia melakukan itu agar isi berita diketahui oleh para pendengarnya. Semua contoh itu menunjukkan bahwa membaca bersuara itu dilakukan bukan semata-mata untuk beroleh informasi bagi diri sendiri tetapi membaca untuk orang lain. Oleh karena itulah, kegiatan membaca bersuara itu sering disebut sebagai kegiatan membacakan, yang berarti membaca untuk orang lain.

            Membacakan puisi dan membacakan cerpen. Membaca puisi dan membaca cerpen dapat dibedakan menjadi dua bentuk kegiatan, yaitu untuk diri sendiri dan membaca untuk orang lain. Kegiatan membaca puisi dan cerpen untuk orang lain bisa disebut kegiatan “membacakan puisi” atau “membacakan cerpen”. Akan tetapi, pada lomba-lomba yang sering dilakukan, biasanya digunakan istilah “lomba membaca puisi” dan “lomba membaca cerpen”. Sebenarnya, yang dimaksud adalah “lomba membacakan puisi” dan “lomba membacakan cerpen” karena yang dilakukan adalah membaca untuk dapat didengar oleh orang lain, baik penonton maupun juri.

            Baik buruknya kualitas seseorang yang “membacakan puisi atau cerpen” ditentukan oleh beberapa hal berikut ini. Pertama, kecukupan volume suara untuk didengar oleh semua peserta yang hadir. Kedua, kejelasan pengucapan huruf pada kata. Ketiga, pengelompokan kata berdasarkan satuan-satuan gagasan. Keempat, memberi tekanan yang cukup, seimbang, dan harmonis pada kata atau suku kata. Kelima, kejelasan kesenyapan awal dan kesenyapan akhir untuk membedakan kalimat yang satu dengan kalimat berikutnya. Keenam, memelihara kontak mata yang harmonis antara melihat bacaan dengan melihat penonton. Ketujuh, berusaha menghayati isi bacaan dan merefresentasikannya dalam bentuk kilatan mata, mimik, gerak tangan, dan bahasa tubuh.

            Upaya “menghayati” puisi atau cerpen yang dibacakan akan menentukan keberhasilan seorang pembaca. Untuk dapat memahami sebuah puisi atau cerpen, dapat dilakukan dengan membacanya berulang-ulang. Akan lebih baik lagi apabila isinya didiskusikan agar bisa saling melengkapi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa yang menjadi dasar penafsiran isinya adalah kata-kata yang ada dalam karya tersebut. Jangan coba-coba membuat interpretasi tanpa dasar karena ini akan menyesatkan.

            Pada saat membacakan puisi atau cerpen, seorang pembaca harus dapat menakar muatan emosi yang muncul dalam dirinya. Dia harus mampu mengontrol emosinya agak tidak berlebihan. Pembaca yang tidak dapat mengontrol emosinya ada kemungkinan dia akan larut dalam perasaannya sendiri sehingga dia benar-benar menangis sehingga pembacaan terhenti, tidak bisa dilanjutkan.  


2. Membaca Tanpa Suara

Sesuai dengan namanya, membaca tidak bersuara adalah kegiatan membaca dengan tidak mengeluarkan suara. Kegiatan membaca seperti ini dilakukan untuk kepentingan sendiri. Suara yang terdengar, seperti bunyi desis, bisikan, bahkan gerakan bibir yang komat kamit  adalah gangguan dalam membaca. Hal-hal seperti itu harus dihindarkan dan tidak boleh terjadi. Oleh karena itu, membaca tanpa suara ini sering disebut membaca di dalam hati.

            Kegiatan membaca di dalam hati inilah yang sebenarnya paling banyak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Jika dibandingkan, jumlah orang yang melakukan kegiatan membaca dalam hati itu jauh lebih banyak dibanding orang yang melakukan kegiatan membaca bersuara. Jumlah orang yang membaca dengan bersuara itu jumahnya sangat terbatas. Orang yang sedang membaca di perpustakaan, orang yang membaca surat kabar di dalam kendaraan, mahasiswa yang sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian, atau anak yang sedang mencari namanya dalam deretan nama siswa, semua itu lazimnya mengunakan teknik membaca secara tidak bersuara.

            Kegiatan membaca di dalam hati merupakan kegiatan membaca yang dilakukan untuk memahami isi bacaan. Sesuai dengan namanya membaca dalam hati ditandai dengan tidak adanya suara yang dikeluarkan. Oleh karena itu, membaca dalam hati sering disebut membaca tanpa suara, ‘silent reading’.

 

SALAH TULIS

Hermawan Aksan wartawan Tribun Jabar KITA biasa menyebutnya typo, dari istilah typographical error. Maknanya, kesalahan ketik atau salah ket...