Secara sederhana, istilah “membaca” dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui isi bacaan. Ini berarti bahwa membaca adalah kegiatan yang dilakukan dengan tujuan. Membaca merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar karena membaca tidak cukup dilakukan dengan melihat saja. Dengan demikian, “membaca” itu bukan sekadar melihat tulisan tetapi lebih dari itu. Untuk dapat mengetahui isi tulisan, kita harus memusatkan perhatian dan berupaya untuk mengerti maksud dan makna dari apa yang tertulis pada bacaan.
Pada masa kini, setelah ditemukan alat komunikasi yang luar biasa, dengan aplikasi yang hampir menggeser aktivitas berbahasa lisan, seperti Whattsapp, Facebook, Instagram telah meningkatkan status keterampilan membaca. Komunikasi baca tulis lebih banyak menyita waktu dibanding komunikasi lisan. Kehadiran media sosial itu telah memaksa orang-orang untuk lebih banyak melakukan kegiatan berkomunikasi dalam bentuk komunikasi literal, komunikasi baca tulis. Kita sering melihat, orang yang duduk berdekatan atau yang berdampingan sekalipun, kini lebih asyik chating, baca tulis, dengan orang yang berada jauh darinya daripada ngobrol dengan teman yang ada di samping atau di hadapannya.
Untuk dapat berkomunikasi baca tulis tersebut, tentu saja diperlukan keterampilan yang berbeda daripada keterampilan komunikasi lisan langsung. Kini diperlukan keterampilan menuliskan gagasan untuk menyampaikan maksud. Pada pihak lain, diperlukan keterampilan membaca untuk memahami maksud teman yang disampaikan secara tertulis. Apabila tidak, komunikasi baca tulis akan lebih banyak menimbulkan risiko salah paham dan salah pengertian di antara pengirim dan pembaca pesan. Oleh karena itu, semua pengguna media sosial perlu meningkatkan kemampuannya dalam menuliskan dan membaca pesan.
Dalam tulisan pendek ini akan dibahas beberapa keterampilan dasar yang diperlukan untuk meningkatkan daya baca.
Secara garis besar, berdasarkan terdengar atau tidaknya, membaca dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu membaca bersuara dan membaca tanpa bersuara.
1. Membaca Bersuara
Dalam kehidupan sehari-hari, kegiatan membaca bersuara ini sangat terbatas penggunaannya. Seseorang yang menyuarakan isi bacaannya tanpa ada yang memintanya, pasti akan dianggap sebagai gangguan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Jangankan disuarakan, memperdengarkan bunyi desisnya saja akan dianggap sebagai polusi suara. Ini akan membuat orang-orang tidak merasa nyaman berada di dekatnya. Oleh karena itulah, hindarilah membaca bersuara tanpa ada kepentingan bagi orang lain.
Salah satu contoh kegiatan membaca bersuara, misalnya dilakukan pada saat seorang ibu membacakan cerita kepada anak-anaknya, seorang guru yang sedang membacakan pengumuman, penyiar radio yang membacakan berita, seorang pejabat yang sedang membacakan naskah pidato di hadapan pendengarnya, atau seseorang yang yang sedang membacakan puisi di atas pentas. Ada juga orang yang untuk keperluan tertentu harus membacakan pesan SMS, Whattsapp yang diterimanya. Misalnya, seorang cucu yang diminta membacakan pesan yang diterima neneknya yang sudah tidak bisa melihat tulisan dengan sempurna. Semua itu dapat digolongkan ke dalam kegiatan membaca bersuara. Kegiatan membaca seperti ini biasanya dilakukan bukan untuk kepentingan pembacanya sendiri melainkan untuk kepentingan orang lain.
Dari contoh-contoh di atas dapat diketahui bahwa ibu yang disebutkan di atas, yaitu yang membacakan cerita dengan tujuan agar cerita yang dibacanya dapat pula didengar oleh anak-anaknya, seorang guru yang membacakan pengumuman agar pengumuman yang dibacanya itu didengar oleh para siswanya, serta penyiar radio yang membacakan berita untuk para pendengarnya termasuk membaca untuk orang lain. Dia melakukan itu agar isi berita diketahui oleh para pendengarnya. Semua contoh itu menunjukkan bahwa membaca bersuara itu dilakukan bukan semata-mata untuk beroleh informasi bagi diri sendiri tetapi membaca untuk orang lain. Oleh karena itulah, kegiatan membaca bersuara itu sering disebut sebagai kegiatan membacakan, yang berarti membaca untuk orang lain.
Membacakan puisi dan membacakan cerpen. Membaca puisi dan membaca cerpen dapat dibedakan menjadi dua bentuk kegiatan, yaitu untuk diri sendiri dan membaca untuk orang lain. Kegiatan membaca puisi dan cerpen untuk orang lain bisa disebut kegiatan “membacakan puisi” atau “membacakan cerpen”. Akan tetapi, pada lomba-lomba yang sering dilakukan, biasanya digunakan istilah “lomba membaca puisi” dan “lomba membaca cerpen”. Sebenarnya, yang dimaksud adalah “lomba membacakan puisi” dan “lomba membacakan cerpen” karena yang dilakukan adalah membaca untuk dapat didengar oleh orang lain, baik penonton maupun juri.
Baik buruknya kualitas seseorang yang “membacakan puisi atau cerpen” ditentukan oleh beberapa hal berikut ini. Pertama, kecukupan volume suara untuk didengar oleh semua peserta yang hadir. Kedua, kejelasan pengucapan huruf pada kata. Ketiga, pengelompokan kata berdasarkan satuan-satuan gagasan. Keempat, memberi tekanan yang cukup, seimbang, dan harmonis pada kata atau suku kata. Kelima, kejelasan kesenyapan awal dan kesenyapan akhir untuk membedakan kalimat yang satu dengan kalimat berikutnya. Keenam, memelihara kontak mata yang harmonis antara melihat bacaan dengan melihat penonton. Ketujuh, berusaha menghayati isi bacaan dan merefresentasikannya dalam bentuk kilatan mata, mimik, gerak tangan, dan bahasa tubuh.
Upaya “menghayati” puisi atau cerpen yang dibacakan akan menentukan keberhasilan seorang pembaca. Untuk dapat memahami sebuah puisi atau cerpen, dapat dilakukan dengan membacanya berulang-ulang. Akan lebih baik lagi apabila isinya didiskusikan agar bisa saling melengkapi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa yang menjadi dasar penafsiran isinya adalah kata-kata yang ada dalam karya tersebut. Jangan coba-coba membuat interpretasi tanpa dasar karena ini akan menyesatkan.
Pada saat membacakan puisi atau cerpen, seorang pembaca harus dapat menakar muatan emosi yang muncul dalam dirinya. Dia harus mampu mengontrol emosinya agak tidak berlebihan. Pembaca yang tidak dapat mengontrol emosinya ada kemungkinan dia akan larut dalam perasaannya sendiri sehingga dia benar-benar menangis sehingga pembacaan terhenti, tidak bisa dilanjutkan.
2. Membaca Tanpa Suara
Sesuai dengan namanya, membaca tidak bersuara adalah kegiatan membaca dengan tidak mengeluarkan suara. Kegiatan membaca seperti ini dilakukan untuk kepentingan sendiri. Suara yang terdengar, seperti bunyi desis, bisikan, bahkan gerakan bibir yang komat kamit adalah gangguan dalam membaca. Hal-hal seperti itu harus dihindarkan dan tidak boleh terjadi. Oleh karena itu, membaca tanpa suara ini sering disebut membaca di dalam hati.
Kegiatan membaca di dalam hati inilah yang sebenarnya paling banyak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Jika dibandingkan, jumlah orang yang melakukan kegiatan membaca dalam hati itu jauh lebih banyak dibanding orang yang melakukan kegiatan membaca bersuara. Jumlah orang yang membaca dengan bersuara itu jumahnya sangat terbatas. Orang yang sedang membaca di perpustakaan, orang yang membaca surat kabar di dalam kendaraan, mahasiswa yang sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian, atau anak yang sedang mencari namanya dalam deretan nama siswa, semua itu lazimnya mengunakan teknik membaca secara tidak bersuara.
Kegiatan membaca di dalam hati merupakan kegiatan membaca yang dilakukan untuk memahami isi bacaan. Sesuai dengan namanya membaca dalam hati ditandai dengan tidak adanya suara yang dikeluarkan. Oleh karena itu, membaca dalam hati sering disebut membaca tanpa suara, ‘silent reading’.
No comments:
Post a Comment