SASTRA ADALAH FIKSI
Oleh: Asep Nurjamin
Peristiwa dalam sastra adalah peristiwa fiksi, imajinatif. Oleh
karena itu, semuanya harus kita anggap sebagai peristiwa yang memiliki tingkat
kesesuaian yang rendah dengan fakta yang sesungguhnya. Apa pun yang ada dalam sastra harus dipandang sebagai
rekaan. Peristiwa nyata yang sudah ditampilkan dalam bentuk sastra jangan
dianggap sebagai sebuah peristiwa yang secara seratus persen persis sama dengan
peristiwa yang sebenarnya.
Dari paragraf di
atas kita ketahui bahwa, ide dasar dari sastra itu bisa fakta bisa juga
khayalan. Akan tetapi, jika kita
menuliskan sebuah peristiwa secara apa adanya, faktual, tepat sesuai fakta,
tidak ada yang ditambah atau dikurangi itu berarti kita tidak sedang menulis
karya sastra. Karya sastra harus memenuhi syarat sebagai karya rekaan. Semua
atau sebagian fakta yang ada, untuk jadi karya sastra harus direka, biasanya
dibuat jadi lebih indah, lebih dramatik, lebih hidup, lebih menarik, lebih
menghibur.
Hal ini dilakukan
untuk memenuhi tujuan estetika sastra karena sastra dibuat untuk tujuan
estetik bukan untuk tujuan informatif. Apakah sastra tidak berisi informasi?
Bukan begitu. Karya sastra juga dapat menjadi sumber informasi. Akan tetapi,
informasi dalam karya sastra bukan informasi yang akurat, tepat, dan objektif
karena ia merupakan hasil pandangan atau kesan subjektif penulisnya.
Walaupun demikian,
banyak orang yang beranggapan bahwa karya sastra itu mencerminkan kebudayaan
suatu bangsa atau suku bangsa. Pernyataan ini tidaklah benar. Jika kita ingin
mengetahui kebudayaan suatu bangsa atau suku bangsa bacalah buku antropologi
karena semua yang ada dalam sastra itu walaupun pada asalnya merupakan fakta
itu tetapi itu tak lebih dari impresi sastrawannya. Oleh karena itu, fakta
dalam karya sastra lebih merupakan kesan pribadi sastrawan atau bahkan
pandangan subjektif penulisnya. Apakah itu merupakan fakta yang keobjektifannya
dapat dipertanggungjawabkan? Jawabannya, belum tentu fakta itu benar-benar
faktual karena fakta dalam karya sastra tidak dipandang dengan menggunakan
logika dan penalaran yang secara ketat harus dijaga.
Fakta dalam sastra adalah fakta yang lebih banyak
dipandang dengan menggunakan perasaan. Benar, di dalam sastra pun ada logika.
Akan tetapi, logika sastra adalah logika yang berbeda dengan yang berlaku dalam
kehidupan biasa. Dalam sastra, seorang jagoan bisa berkelahi ratusan kali dalam
sehari tanpa kekalahan, bahkan dapat mengalahkan dua tiga lawan sekaligus.
Dalam sastra, seorang tokoh dapat hidup berpoya-poya setiap hari. Tidur di
hotel mewah, naik kendaraan mewah, makan di restoran mahal tapi tidak dikisahkan
dari mana dia dapat uang. Ini sesuatu yang tidak logis dalam kehidupan kita
sehari-hari. Di dalam karya sastra, seolah tidak berlaku hukum logika, “untuk
dapat uang orang mesti bekerja”.
Logika dalam sastra adalah logika sastra yang khas dan
unik. Ini yang perlu kita pahami. Logika sastra tidak bisa disamakan dengan
logika hidup yang sebenarnya. Dalam puisi, misalnya. Seorang penyair menulis
kalimat “Aku berjalan melewati bintang”. Pantaskah kita bertanya, “Memang Anda
bisa berjelan-jalan ke langit?”. “Pesawat apa yang Anda kendarai?”. Ini
pertanyaan yang lucu. Tidak sepantasnya kita bertanya seperti itu. Dalam
sastra, ungkapan seperti itu dianggap lumrah saja. Tak akan ada yang bisa
membantah. Jangan menanyakan benar atau salah! Pembaca sastra akan menerimanya
sebagai sebuah keindahan. Ingat saja, gaya bahasa “melebih-lebihkan” atau
“mengurang-ngurangkan”.
Jadi, fakta di dalam sastra bukan fakta yang benar-benar
dapat dipercaya melainkan fiksi. Akan tetapi, kita menemukan bahwa
peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam karya sastra terasa hidup dan nyata.
Inilah ciri sastra berikutnya. Fakta yang sebenarnya hanya ada dalam
angan-angan pengarangnya akan direka sedemikian rupa agar tampak seperti nyata.
Apa yang dikhayalkan pengarangnya itu dibuat dan ditampilkan dengan tujuan agar
pembaca atau penonton merasakannya sebagai peristiwa yang sungguh-sungguh
terjadi. Banyak pembaca dan penonton yang merasa bahwa kisahnya itu mirip
dengan kisah hidup yang dialaminya. Hal ini semata-mata merupakan bukti kelihaian
seorang sastrawan.
Sastra juga bukan media untuk komunikasi sehari-hari.
Setiap orang yang menghasilkan sastra memiliki tujuan untuk menyampaikan
gagasan, pendapat, permintaan, ajakan, bujukan, permohonan atau hal lainnya.
Akan tetapi terdapat perbedaan yang sangat mendasar di antara bersastra dengan
berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berkomunikasi biasa bahasa
dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan praktis. Misalnya, menyuruh orang
membelikan makanan, meminta orang berhenti ngobrol, menawar harga barang,
mengajak orang pergi ke mesjid, melarang anak bermain game, dan sebagainya. Untuk mencapai tujuan itu, dalam komunikasi
sehari-hari kita berusaha agar isi pembicaraan kita dipahami oleh lawan bicara.
Sastra dipilih orang sebagai media untuk menyampaikan
sesuatu yang tidak selalu meminta kita melakukan sesuatu saat ini dan di sini. Apabila
kita meminta seseorang untuk menutup pintu, tidak wajar kalau memilih
komunikasi dalam bentuk puisi, cerpen, atau novel.
Komunikasi dalam sastra bukanlah komunikasi yang efektif,
bukan pula komunikasi yang praktis dan tepat sasaran. Dalam sastra tidak
berlaku moto, “singkat, padat, dan mudah dipahami”. Oleh karena itu, isi sastra
sering tidak terpahami. Sering ditafsirkan salah karena memang penulisnya
sendiri ingin menyembunyikan maksud, makna, pesan, atau amanatnya. Dalam
komunikasi biasa, pembicara akan mencari bentuk yang paling mudah dipahami dan
tidak menimbulkan salah tafsir. Pembicaraannya harus jelas dan lugas. Dalam
sastra, kejelasan dan kelugasan ini tidak dianggap penting. Sastrawan hanya
ingin mengekspresikan keindahan yang merupakan pengalaman batinnya.
Sastra dibuat tidak selalu dibuat untuk dipahami tetapi
untuk dinikmati. Dengan demikian, dalam komunikasi sehari-hari kita berusaha agar
pembaca atau lawan bicara kita memahami isi pembicaraan kita sedangkan dengan
sastra penulis berharap agar pembacanya dapat merasakan keindahannya.
Ada kalanya, orang memerlukan waktu berkali-kali membaca
sebuah karya, khususnya puisi untuk memahami apa isinya. Bahkan, ada karya yang
sama sekali tidak dapat dipahami isinya. Hal ini dipandang sesuatu yang lazim
dalam sastra. Ketidakterpahaman maksud dan isi pesannya tidak akan dianggap
sebagai sebuah kegagalan dalam bersastra. Coba Anda bayangkan apabila itu
dialami pembaca atau pendengar dalam komunikasi sehari-hari! Pasti itu akan
dianggap komunikasi yang gagal karena keduanya saling tidak memahami maksud
masing-masing. Lebih dari itu, itu akan dianggap sebagai percakapan yang gagal,
tidak saling memahami.
Wallahu a’lam.
@salam
untuk mahasiswa Krtitik Sastra S-2 UMP 2019 dari Asep Nurjamin di Bumi Guntur
Melati