Monday, September 21, 2020

DIKSI: PENGERTIAN, MAKNA DENOTATIF DAN KONOTATIF, MAKNA KIAS DAN MAKNA LUGAS, MAKNA UMUM DAN MAKNA KHUSUS, SINONIM, UNGKAPAN IDIOMATIK

Oleh: Dr. Asep Nurjamin


 

Istilah “diksi” dalam bahasa Indonesia sering dipergunakan untuk merujuk pada dua pengertian, yaitu (1) kata yang dipilih dan (2) proses pemilihan kata. Sebagai kata yang terpilih, “diksi” dapat didefinisikan sebagai “kata atau kelompok kata” yang dipilih oleh seorang pembicara atau penulis berdasarkan berbagai pertimbangan. “Diksi” sebagai proses dapat didefinisikan sebagai kegiatan memilih dan menentukan dan menentukan “kata” atau “pilihan kata” yang dianggap tepat dari segi makna dan implikasi makna yang ditimbukannya.

Mengapa kita harus memilih kata?  Bolehkah kita memilih kata sekehendak sendiri tanpa mempertimbangkan pengaruh kata-kata yang kita pilih itu terhadap lawan bicara kita? Keengganan dan  ketidakmampuan kita untuk memilih kata, akan berpengaruh terhadap kesuksesannnya dalam bergaul. Pilihan kata yang tidak tepat cenderung akan tidak disukai lawan bicara, dianggap tidak sopan, kasar, serta tidak menghargai orang lain.

 

Pilihan Kata Berdasarkan Makna

Pertimbangan untuk memilih kata dapat dilakukan dengan memperhatikan makna denotatif dan konotatif, makna kias dan makna lugas, makna umum dan makna khusus, sinonim dan ungkapan idiomatik yang dimiliki sebuah kata atau kelompok kata.

Pada saat berkomunikasi, pembicara harus berusaha untuk memperlihatkan sopan santun dan penghargaan terhadap lawan bicara. Sopan santun dan penghargaan itu harus ditunjukkan dengan sikap, bahasa tubuh, posisi tubuh, pandangan mata, serta hal lain yang berhubungan dengan sikap. Di samping itu, bahasa dan kata-kata yang dipergunakan untuk berkomunikasi pun harus diperhatikan. Kata-kata yang kita komunikasikan harus memperlihatkan sikap sopan santun dan menghargai lawan bicara. Kita tidak boleh sembarangan memilih kata. Oleh karena itu, setiap pembicara harus memiliki kemampuan yang cukup untuk memilih kata yang sesuai dengan ragam bahasa dan tujuan berkomunikasi.

Pada setiap ragam bahasa, pada setiap kesempatan berkomunikasi, diperlukan keterampilan untuk memilih kata yang tepat. Sebuah kata dapat dipilih karena kebakuannya, pertimbangan terhadap tingkat keterpamahaman oleh lawan bicara, implikasi maknanya, sopan santun, dan sebagainya. Kata-kata yang diperkirakan tidak akan dipahami maknanya oleh lawan bicara, tentu tidak akan kita pilih. Kata-kata yang tidak baku kita hindari penggunaannya pada saat kita berkomunikasi dalam situasi resmi. Demikian juga sebaliknya, kata-kata yang baku tidak kita pilih pada saat berkomunikasi dalam situasi komunikasi yang akrab dan santai.

Kata dalam makna denotasi dan makna konotasi. Pada saat komunikasi resmi kita berusaha untuk memilih kata-kata dalam makna denotasi. Kita berusaha untuk tidak terlalu banyak menggunakan kata dalam makna “konotasi” karena dikhawatirkan akan menimbulkan salah pengertian. Kata dalam makna “denotasi” biasanya lebih mudah dipahami karena itulah makna kata yang lazim sebagaimana makna dasar seperti yang tertulis di dalam kamus.

Sebaliknya, kata yang mengandung makna konotasi adalah kata-kata yang menimbulkan perasaan atau emosi tertentu pada diri pendengar atau pembaca. Bisa juga dikatakan bahwa “makna konotasi” adalah muatan perasaan atau emosi yang mengiringi sebuah kata. Cermati kata bercetak tebal pada dua kalimat berikut ini!

“Badannya terlihat kurus”.

“Badannya terlihat langsing

Perhatikan bahwa kata kurus dan langsing pada kedua kalimat tersebut mengandung makna konotasi.

Contoh lain. “Orang itu telah memperlakukan pasiennya denga cara yang tidak sopan”.

                     “Orang itu telah memperlakukan pasiennya denga cara yang kurang sopan”. Menurut Anda, adakah perbedaan “nilai rasa” di antara kata “tidak” dan kata “kurang” pada dua kalimat tersebut?

           

Kata dalam makna lugas dan makna kias. Makna lugas adalah kata yang dipergunakan dalam makna lazimnya, makna kata yang sesungguhnya. Makna kias adalah makna baru yang merupakan hasil dari penempatan kata pada rangkaian kalimat yang tidak biasa. Hal ini dilakukan karena dianggap memiliki kesamaan. Perhatikanlah kata bercetak tebal pada dua kalimat berikut ini!

“Mahasiswa itu mengambil semua uang simpanannya untuk membayar uang kuliah”.    

“Anak itu berusaha mengambil hati ibunya”.

Menurut Anda kata “mengambil” yang manakah yang merupakan kata dalam makna lugas?

Contoh lain.

            “Perawat itu menunggu pasien yang sedang diperiksa di laboratorium”.

            “Lelah rasanya aku menunggu dipenuhinya semua janji yang pernah kauucapkan”

Contoh lain.

            “Dengan sikap hati-hati, perawat itu membuka pintu kamar ruang pasien”.

            “Aku akan berusaha membuka pintu  hatimu yang sudah lama terkunci”.

 

Kata dalam makna umum dan makna khusus. Sebuah kata bisa disebut kata “umum” apabila cakupan maknanya lebih lebih luas dengan kata lain yang cakupan maknanya lebih sempit. Misalnya, dapat kita lihat pada kalimat berikut ini.

“Pasien itu merasakan sakit yang luar biasa pada bagian perutnya”. Bandingkan dengan kalimat:

“Pasien itu merasakan sakit yang luar biasa pada lambungnya”.

Menurut Anda, pada kedua kalimat itu, kata apa yang lebih umum pengertiannya dan kata apa yang lebih khusus pengertiannya.

Dua kata atau lebih yang bersisonim. Untuk menghindari penggunaan kata yang dianggap kasar, kurang hormat, dan agar tidak menyinggung perasaan lawan bicara, atau agar terasa lebih indah, kita dapat memilih kata lain yang maknanya bersinonim. Perhatikan kata bercetak tebal pada dua kalimat di bawah ini.

“Dari puncak bukit itu saya dapat menikmati keindahan kota Garut waktu malam”.

“Dari puncak bukit itu saya dapat menikmati keindahan kota Intan waktu malam”.

 

Kata dalam bentuk ungkapan dan makna idiomatik. Hampir dalam setiap peristiwa komunikasi sering dipilih kata-kata dalam makna idiomatik. Kata-kata bermakna idiomatik adalah kata atau kelompok kata yang maknanya tidak berhubungan makna dalam kata asalnya. Perhatikan kata “kambing hitam” pada dua kalimat di bawah ini.

“Pada perayaan Idhul Adha tahun ini dia menyembelih kambing hitam yang dibelinya dari teatangganya”.

“Pedagang kaki lima yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan peristiwa kerusuhan itu, telah dijadikan kambing hitam”.

 

 

@salam dari Asep Nurjamin di Bumi Guntur Melati

Monday, September 14, 2020

RAGAM BAHASA INDONESIA DALAM PENGGUNAANNYA


 

Dr. Asep Nurjamin

Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara dan bahasa nasional, bahasa Indonesia telah dipergunakan pada semua situasi pembicaraan, mulai dari penggunaan dalam situasi yang resmi hingga dalam situasi yang sangat akrab dan pribadi. Bahasa Indonesia dipergunakan dalam acara-acara kenegaraan hingga komunikasi pribadi yang dilakukan dari hati ke hati.

        Oleh karena itu, kita akan menemukan penggunaan bahasa Indonesia dalam semua lapangan kehidupan masyarakat Indonesia. Termasuk di dalamnya, komunikasi di antara anggota keluarga dalam rumah tangga. Banyak ditemukan keluarga yang memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa dalam pergaulan sehari-hari walaupun di antara warga dari suku bangsa yang sama.

Secara garis besar, bahasa Indonesia dalam penggunaannya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bahasa Indonesia ragam resmi dan bahasa Indonesia ragam tidak resmi. Kedua ragam ini dapat dibedakan dari segi: (1) saluran bahasa, lisan atau tulis, (2) suasana, (3) tujuan berkomunikasi, serta (4) tingkat kerjalinan.   

(1) Saluran bahasa, lisan atau tulis. Baik dalam komunikasi resmi maupun tidak resmi, ragam bahasa lisan memiliki perbedaan yang sangat jelas dengan bahasa ragam tulisan. Pada saat berbahasa lisan tingkat pemahaman di antara orang yang berkomunikasi lebih baik dibanding pada saat berkomunikasi tulis. Pada saat berkomunikasi lisan, isi pembicaraan dapat lebih mudah karena dibantu dengan tekanan suara, nada, gerak, isyarat mata, atau isyarat tangan. Di samping itu, apabila pendengar tidak paham maksud pembicara, pada saat itu juga pendengar dapat bertanya langsung. Oleh karena itu, walaupun dalam komunikasi yang sifatnya resmi, bahasa dalam komunikasi lisan lebih longgar dalam menggunakan aturan bahasa.

Sebaliknya, dalam komunikasi tulis, penulis hanya mengandalkan apa yang tertulis. Yang dapat ditulis tidak lebih dari kata-kata, tanda baca, serta huruf besar dan huruf kecil. Unsur tekanan suara, nada, gerak, isyarat mata, atau isyarat tangan tidak dapat ditampilkan dalam tulisan. Karenanya, kata-kata yang ditulis harus tepat makna sehingga tidak akan menimbulkan salah tafsir. Hal ini merupakan ciri dari bahasa tulis yang membuatnya lebih resmi daripada bahasa lisan.

(2) Suasana pembicaraan. Istilah “suasana” di sini dapat diartikan “tempat, waktu, dan keadaan” pada saat dilakukan komunikasi. Dua orang teman kuliah yang sedang ngobrol di kampus akan memilih ragam bahasa yang berbeda dengan ketika ngobrol di kantin, di depan dosen, di depan teman wanita, di depan orang tuanya, di depan orang yang tidak dikenal, dan sebagainya. Perbedaannya bisa terletak pada pokok yang dibicarakan, tujuan, serta cara berbicara. Setiap pembicara dengan sendirinya harus menyadari bahwa setiap suasana pembicaraan menuntut pokok pembicaraan dan cara bericara yang berbeda. Dalam hal ini, pembicara akan mempertimbangkan sopan santun, kehormatan diri dan lawan bicara, serta sistem nilai yang ada. Dengan demikian, kita harus sadar bahwa setiap suasana memerlukan ragam bicara yang berbeda, resmi atau tidak resmi.

(3) Tujuan berkomunikasi. Dapat dipastikan bahwa setiap pembicaraan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Biasanya tujuan berbicara itu muncul di dalam hati sebelum pembicaraan dilakukan. Ada orang yang berbicara untuk memberitahu, mengajak, menjelaskan, menanyakan, memohon, meminta, melarang, dan sebagainya. Setiap tujuan berbicara tersebut memerlukan ragam bahasa tersendiri, baik resmi maupun tidak resmi. Perhatikan perbedaan kalimat orang yang memberitahu, melarang, memohon, meminta, menjelaskan, mempengaruhi, dan sebagainya.

(4) Tingkat kerterjalinan. Istilah “keterjalinan” di sini diartikan sebagai “hubungan di antara orang yang berkomunikasi”. Bisa juga diartikan “keakraban” di antara orang yang sedang berkomunikasi. Keterjalinan ini akan mempengaruhi ragam bahasa yang dipergunakan. Ragam bahasa yang digunakan dengan orang yang baru kenal harus berbeda dengan ragam bahasa yang dipergunakan dengan orang yang sudah akrab. Demikian juga saat berkomunikasi dengan orang tua yang akrab, orang tua yang baru kenal, orang tua yang akrab tetapi disegani, dan sebaginya diperlukan ragam bahasa yang berbeda. Untuk masing-masing orang tersebut kita harus memikirkan dan memilih cara panggilan atau sebutan yang sesuai, yang tidak menyinggung perasaannya, dan memberi kesan menghargainya.

Dari berbagai ragam bahasa yang sering dipergunakan, dapat kita identifikasi beberapa ragam bahasa, yaitu: (1) ragam baku seperti bahasa dalam undang-undang, keilmuan, dan pengajaran termasuk upacara-upacara resmi, (2) ragam santai yang merupakan ragam yang paling banyak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. (3) Ragam kelompok anak muda seperti bahasa alay dan bahasa prokem. (4) Ragam sastra yang dapat dibedakan atas bahasa ragam narasi, ragam drama, dan drama sajak atau puisi.

Keempat ragam ini dapat dilihat perbedaannya, terutama, dari segi pemilihan topik pembicaraan, sikap partisipan, serta pemilihan kata.

 

Penutup

Harus diyakini bahwa muncul berbagai ragam bahasa itu disebabkan oleh adanya perbedaan situasi dan kondisi. Situasi dan kondisi ini memaksa setiap orang yang berkomunikasi untuk memilih (1) saluran komunikasi, (2) sikap saat berkomunikasi, (3) cara berkomunikasi, serta (2) pilihan kata yang sesuai. Yakinilah, bahwa kemampuan seseorang dalam menggunakan berbagai ragam bahasa tersebut akan memperlihatkan kebijaksanaan dan kecerdasan seseorang dalam berbahasa. Hal ini harus dimulai dengan memunculkan dan memelihara sikap menghormati lawan bicara.

 

 

@salam dari Asep Nurjamin di Bumi Guntur Melati

Monday, September 7, 2020

SEJARAH KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA


Oleh: Dr. Asep Nurjamin

1. Sejarah Kelahiran Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah anugerah Allah yang besar bagi bangsa Indonesia. Banyak negara di dunia yang tidak memiliki bahasa sendiri. Mereka tidak dapat memutuskan bahasa mana yang harus dijadikan bahasa negara dan bahasa nasional. Masing-masing kelompok masyarakat memaksakan diri untuk mengangkat bahasa daerahnya sendiri sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Demikian juga yang kelompok lainnya. Mereka bersitegang pada pilihannya sendiri. Tidak ada yang mengalah. Akhirnya, dipilihlah bahasa asing sebagai negara dan bahasa nasional. Masalah seperti ini muncul pada masyarakat India yang pada akhirnya memilih bahasa Inggris sebagai bahasa resmi mendampingi bahasa Hindi yang mendapat penentangan dari banyak penutur bahasa lain di India.

Sejarah bahasa Indonesia dimulai dari bahasa Melayu. Bahasa inilah yang menjadi lingua franca di antara penduduk pesisir pantai dengan para pedagang yang datang dari berbagai negara di dunia seperti dari India, Jazirah Arab, Afrika, Asia, dan Eropa. Bahasa Melayu telah menjadi bahasa perdagangan yang tersebar penggunaannya mulai dari pesisir pantai Aceh, Malaka, Singapura, seluruh pantai yang menghadap ke Laut Jawa, sampai ke Pulau Luzon dan Mindanao di Filipina. Hal ini sudah berlangsung jauh sebelum orang-orang Eropa, yang kemudian menjajah negara kita, datang ke Indonesia.

Pada saat Belanda, penjajah Indonesia akan mendirikan sekolah, karena mereka memerlukan tenaga kerja yang murah, dipilihlah bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di dalam pengajaran. Hal ini dilakukan Belanda karena mereka tahu bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa yang paling luas wilayah penyebarannya dan paling banyak penuturnya. Para pedagang yang membawa barang ke semua pesisir, berkomunikasi dengan dengan orang-orang yang di tempat yang ditujunya dengan menggunakan bahasa Melayu. Lama kelamaan orang-orang dari suku yang berbeda berkomunikasi khususnya dalam perdagangan, menggunakan bahasa Melayu. Dengan demikian, bahasa Melayu tidak semata-mata digunakan orang Melayu melainkan juga orang-orang dari suku lain dalam wilayah penyebaran yang luas.

Pada tahun 1908 Belanda mendirikan taman bacaan rakyat  atau volkslectuur. Tahun 1917  volkslectuur diubah namanya menjadi Balai Pustaka. Buku-buku yang dihasilkan Balai Pustaka ini, melalui perpustakaan yang ada di sekolah, dipinjamkan kepada masyarakat luas. Hal ini tanpa disadari Belanda telah turut memperluas wilayah penyebaran bahasa Melayu (Badudu, 1992: 4). Selanjutnya, pada tanggal 25 Juni 1918 atas desakan orang Indonesia yang menjadi anggota Volksraad, ditetapkan bahwa orang Indonesia boleh menggunakan bahasa Melayu dalam sidang-sidangnya. 

Dua peristiwa penting lainnya yang berkenaan dengan kelahiran bahasa Indonesia, adalah tanggal 28 Oktober 1928. Pada hari itu para pemuda mendeklarasikan pengakuan terhadap bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bagi seluruh bangsa Indonesia. Nama bahasa “Indonesia” itu sendiri merupakan gagasan Mr Muhammad Yamin.

Peristiwa kedua adalah tanggal 17 Agustus 1945. Pada hari itu Sukarno dan Muhammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai undang-undang dasarnya. Pada Pasal 16 Bab XV UUD tahun 1945, secara eksplisit disebutkan “Bahasa negara adalah bahasa Indonesia”.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, (1) bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Melayu. (2) Secara de facto bahasa Indonesia telah lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. (3) Secara de jure bahasa Indonesia lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara seperti tercantum pada Pasal 16 Bab XV UUD 1945.

 

2. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia ditempatkan pada kedudukan yang istimewa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ada dua kedudukan penting yang ditempatiu bahasa Indonesia, yaitu (1) bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan (2) bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara telah dikukuhkan secara kuat dengan dinyatakan secara eksplisit pada UUD tahun 1945 Bab XV Pasal 16 bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Hal ini mengandung pengertian bahwa semua kegiatan kenegaraan di Indonesia harus dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Semua kegiatan administrasi dan dokumen kenegaraan wajib menggunakan bahasa Indonesia. Upacara-upacara dan kegiatan-kegiatan kenegaraan lain, baik yang sifatnya formal maupun informal wajib menggunakan bahasa Indonesia.  Apabila ada dokumen yang yang sifatnya internasional, misalnya yang menyangkut kerjasama dengan negara lain yang berbahasa Inggris, maka dokumen itu harus ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Dengan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, telah mewajibkan semua dokumen penting dan kegiatan administrasi kedinasan yang berada dalam wilayah kekuasaan negara Indonesia wajib berbahasa Indonesia. Bukan hanya kegiatan administrasi kepresidenan, melainkan semua lembaga pemerintahan, lembaga kemasyarakatan, lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, sampai ke tingkat rukun warga dan rukun tetangga wajib ditulis dalam bahasa Indonesia. Ini berarti bahwa bahasa Indonesia harus dipergunakan dalam semua administrasi kenegaraan dan pemerintahan, termasuk di dalamnya dalam kegiatan-kegiatan lisan seperti pada upacara bendera, rapat kenegaraan dan pemerintahan, serta aktivitas lainnya yang berhubungan dengan negara dan pemerintahan. Demikian pula halnya dengan nama-nama lembaga pemerintahan.

Dengan demikian, dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia mewajibkan semua semua aparat pemerintahan dan warga negara Indonesia untuk menjadikana bahasa Indonesia sebagai:

1)     bahasa resmi kenegaraan,

2)     bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan,

1)     bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan, serta

2)     bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. alat pemersatu masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial, budaya, dan bahasanya, dan alat perhubungan antarbudaya, antardaerah

Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Mengandung pengertian bahwa bahasa Indonesia harus menjadi: (1) lambang identitas nasional dan (2) lambang kebanggaan nasional. Artinya, bahasa Indonesia harus menjadi ciri ke-Indonesiaan. Semua orang Indonesia harus mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Semua orang Indonesia tidak boleh merasa rendah diri karena berbahasa Indonesia. Sebaliknya, kita harus merasa bangga karena memiliki bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa.

Bahasa Indonesia harus diutamakan sebagai bahasa dalam komunikasi di antara warga negara yang berasal dari suku yang berlainan. Walaupun demikian, pada kegiatan berkomunikasi sehari-hari di antara warga dalam suku yang sama masih dipergunakan bahasa daerahnya. Dengan demikian, bahasa daerah akan tetap hidup dan dipergunakan dalam kegiatan komunikasi antarpersonal dalam satu suku bangsa, sedangkan dalam komunikasi antarpersonal yang berbeda suku bangsa dipergunakan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia.

 

@salam dari Asep Nurjamin di Bumi Guntur Melati

 

Monday, August 31, 2020

NYAWANG BULAN

Sajak: 
karya Asep Nurjamin

Nyawang langit,

baranang,

najan aya bulan,

tetep anjeun téh bentang,

sabab caangna saab nyaliara ka muara rasa

 

Tadi wengi

Nyawang langit,

baranang

 

najan aya bulan,

tetep anjeun téh bèntang,

sabab cahyana,

caangna,

tembus,

saab nyaliara parat ka muara rasa

Saturday, June 20, 2020

MEMBUKA RAHASIA MAKNA PUISI


Dr. Asep Nurjamin



    “A poem says one thing and means another” (Riffaterre, 1978: 1)



Puisi itu bukanlah karya tulis biasa. Puisi bukanlah sarana berkomunikasi seperti dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita meminta seseorang membukakan pintu, tidak tepat kalau kita memilih berpuisi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa puisi itu berbeda dengan bahasa komunikasi biasa.

Perbedaan yang paling tampak antara puisi dengan bahasa komunikasi sehari-hari adalah dari segi keterpahamannya. Kalau kita mengajak teman belajar bersama, tentu kita harus menggunakan kalimat yang mudah dipahami. Misalnya, “Belajar bersama, yuk!” atau kalimat sejenis yang “mudah dipahami”. Inilah prinsip komunikasi sehari-hari, kalimat kita harus mudah dipahami. Untuk itu, pembicara atau penulis harus: (1) menggunakan bahasa yang sama-sama dipahami. (2) Kalimat yang tidak akan menimbulkan salah tafsir. Tujuan utama dari komunikasi biasa adalah “keterpahaman”. Kita bicara untuk dipahami.

Dalam puisi, orang melakukan hal sebaliknya. Puisi dibuat tidak untuk dipahami. Puisi dibuat untuk dinikmati. Penulisnya hanya ingin berekspresi. Pesan di dalamnya disampaikan secara tersembunyi terselubung sehingga tidak dapat dipahami dengan jelas.  Keindahan dalam puisi adalah keindahan yang tersembunyi. Keindahannya baru kita rasakan setelah kita memikirkan dan merenungkannya. Oleh karena itu, ketika akan membaca puisi niatkanlah untuk menikmatinya bukan untuk memahaminya.

Keindahan puisi itu sendiri memiliki dua sisi yang berlawanan atau saling melengkapi. Ada puisi yang diniatkan penulisnya untuk melahirkan keindahan menurut diri penulisnya sendiri tanpa memperhitungkan apakah puisinya akan dirasakan pula keindahannya oleh pembacanya. Penulis ini mengambil prinsip, yang penting saya berekspresi. Silakan temukan sendiri keindahannya.

Ada pula puisi yang diniatkan penulisnya untuk dapat dinikmati pembacanya. Puisi jenis ini dapat dibedakan atas puisi yang dapat langsung dipahami dalam sekali baca. Ada pula puisi yang harus dibaca berulang-ulang, direnungkan, dan direka-reka sendiri oleh pembacanya sebelum dapat dipahami dengan utuh.



Apa yang membuat puisi sulit dipahami?

Puisi adalah karya seni yang menggunakan bahasa sebagai media. Dalam puisi, bahasa yang wujud dalam bentuk kata-kata merupakan refresentasi dari makna yang ada dalam pikiran dan perasaan penulisnya. Dengan demikian, dalam sebuah puisi, kita dapat melihatnya dari dua segi, yaitu segi isinya dan segi bahasanya.  

Isi sebuah puisi tidaklah selalu berupa hal-hal yang luar biasa. Semua orang pernah jatuh cinta pada alam, pada manusia, pada Tuhan, atau pada apa saja. Pernah pula patah hati. Pernah pula ditinggal kekasih. Pernah pula dikhianati dan ditingal pergi begitu saja.

Dari segi isi, semua sama. Semua rata. Tidak ada yang istimewa. Akan tetapi, setiap penulis akan melahirkan puisi yang berbeda. Tidak boleh ada dua puisi yang identik bahkan mirip sekalipun. Sebagai sebuah karya seni, setiap puisi harus memenuhi dua ciri universal dari karya seni, yaitu asli dan baru.

Dari segi bahasanya, puisi dibangun dengan kata-kata. Dalam hal ini,  puisi dapat dikatakan sebagai rangkaian kata-kata. Akan tetapi, harus diingat bahwa kekuatan sebuah puisi itu sama sekali bukanlah pada kata-katanya itu sendiri. Sebuah kata akan menjadi kuat dan indah pada saat kata itu digabung dengan kata-kata lainnya. Inilah yang disebut komposisi.

Perhatikan puisi berjudul “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono di bawah ini!



    aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

    dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu



    aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

    dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(1989)



Adakah ditemukan kata-kata yang sulit dipahami? Sama sekali tidak ada. Semua kata dalam puisi tersebut adalah kata-kata yang lazim kita gunakan dan kita dengar dalam  percakapan sehari-hari. Tidak ada kata-kata asing. Semua kata telah kita kenal dengan baik, bahkan begitu sering kita gunakan.

Apakah Anda dapat langsung memahami isi puisi itu? Apa yang membuat isi puisi itu tidak dengan mudah dapat dipahami? Kesulitan kata-katanya atau karena komposisinya? Ayo, jawab!

Benar. Yang membuat puisi ini indah adalah komposisinya. Penulis sangat mahir merangkai kata menjadi kelompok kata yang bermakna dan membuat pembaca berusaha membayangkan wujud dari keagungan dan kemuliaan cinta. Kata “sederhana” dalam puisi itu telah diberi makna khusus, istimewa. Hal ini tak pernah dilakukan penulis lainnya. Kata “sederhana” dalam puisi ini telah diberi makna yang “luar biasa”.

Munculnya pikiran bahwa “cinta yang sederhana” itu bukanlah “sederhana” dalam pengertian yang biasa bukan karena kata “sederhana” itu sendiri melainkan karena kata-kata sebelumnya dan kata-kata sesudahnya. Hal lain yang membuat puisi sulit dipahami adalah kecenderungan penggunaan metafor.

Ketidakterusterangan penulis dalam menyampaikan maksud telah membuat penulis membuat metafor. Metafor merupakan salah satu bentuk yang dipilih untuk menyembunyikan isi. Di samping itu, berfungsi pula untuk membuat kalimat lebih bergaya lebih, lebih hidup, dan lebih menyentuh perasaan.

Salah satu bentuk metafor adalah penggunaan kias atau analogi. Perhatikan makna kata “terluka” pada dua pernyataan di bawah ini!



1.      “Tangannya terluka tersayat pisau”.

2.      “Hatinya terluka teriris kepedihan”



Pernyataan manakah yang menggunakan kata terluka dalam makna yang sesungguhnya?

Pernyataan manakah yang menggunakan kata terluka dalam makna kias?

Adakah perbedaan makna di antara kedua kata terluka pada masing-masing pernyataan di atas?

              Pada pernyataan yang kedua, sebenarnya kita tidak yakin bahwa hatinya benar-benar terluka. Pernyataan ini lebih tepat kalau disebut hatiku seperti terluka. Penulisnya beranggapan demikian karena dia merasakan sakit pada hatinya seperti ketika badannya terluka. Di sini penulis menganggap sakit hatinya seperti sakit pada badannya. Inilah kias. Dua perkara yang berbeda tetapi memiliki sifat yang sama.



Penutup

Seperti dikatakan Riffaterre (1978) bahasa dalam puisi bukanlah bahasa seperti yang kita gunakan sehari-hari walaupun kata-kata dan tatabahasanya sama. Puisi adalah bentuk yang khusus. Kekhususannya penggunaan bahasanya karena pengaruh komposisinya. Sebuah kata disandingkan dengan kata sebelumnya dan kata sesudahnya sehingga membentuk makna baru yang unik.

              Dari segi isinya. Kalau membaca surat, kita harus paham isinya. Harus jelas apa isinya. Kalau kita membaca puisi, kita ingin merasakan keindahannya bahasa dan rahasia makna yang di balik kata-katanya.

Dalam puisi, penulis berusaha menyembunyikan isi sehingga dalam puisi dikenal pernyataannya “begini” tapi maksudnya “begitu” seperti dikatakan Riffaterre, “A poem says one thing and means another”.

              Wallahu a’lam.

@salam dari Asep Nurjamin yang sudah terlanjur mencintai puisi dari Bumi Guntur Melati



Rujukan

Damono, Sapardi Djoko. Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Nurjamin, Asep. 2018. Sastra itu Fiksi. Makalah. tidak dipublikasikan.

Nurjamin, Asep. 2019. Tiga Jenis Karya Sastra. Makalah. Tidak diterbitkan.

Nurjamin, Asep. 2020. Daun-Daun yang Terkenang yang Terlupakan. Garut: IPI Press.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
  



SALAH TULIS

Hermawan Aksan wartawan Tribun Jabar KITA biasa menyebutnya typo, dari istilah typographical error. Maknanya, kesalahan ketik atau salah ket...