Friday, May 8, 2020

PERLUKAH GURU MEMAHAMI RAGAM BAHASA INDONESIA DALAM PENGGUNAANNYA?


Dr. Asep Nurjamin

Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara dan bahasa nasional, bahasa Indonesia telah dipergunakan pada semua situasi pembicaraan, mulai dari penggunaan dalam situasi yang resmi hingga dalam situasi yang sangat akrab dan pribadi. Bahasa Indonesia dipergunakan dalam acara-acara kenegaraan hingga komunikasi pribadi yang dilakukan dari hati ke hati. 
          Oleh karena itu, kita akan menemukan penggunaan bahasa Indonesia dalam semua lapangan kehidupan masyarakat Indonesia. Termasuk di dalamnya, komunikasi di antara anggota keluarga dalam rumah tangga. Banyak ditemukan keluarga yang memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa dalam pergaulan sehari-hari walaupun di antara warga dari suku bangsa yang sama.
Secara garis besar, bahasa Indonesia dalam penggunaannya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bahasa Indonesia ragam resmi dan bahasa Indonesia ragam tidak resmi. Kedua ragam ini dapat dibedakan dari segi: (1) saluran bahasa, lisan atau tulis, (2) suasana, (3) tujuan berkomunikasi, serta (4) tingkat kerjalinan.   
(1) Saluran bahasa, lisan atau tulis. Baik dalam komunikasi resmi maupun tidak resmi, ragam bahasa lisan memiliki perbedaan yang sangat jelas dengan bahasa ragam tulisan. Pada saat berbahasa lisan tingkat pemahaman di antara orang yang berkomunikasi lebih baik dibanding pada saat berkomunikasi tulis. Pada saat berkomunikasi lisan, isi pembicaraan dapat lebih mudah karena dibantu dengan tekanan suara, nada, gerak, isyarat mata, atau isyarat tangan. Di samping itu, apabila pendengar tidak paham maksud pembicara, pada saat itu juga pendengar dapat bertanya langsung. Oleh karena itu, walaupun dalam komunikasi yang sifatnya resmi, bahasa dalam komunikasi lisan lebih longgar dalam menggunakan aturan bahasa.
Sebaliknya, dalam komunikasi tulis, penulis hanya mengandalkan apa yang tertulis. Yang dapat ditulis tidak lebih dari kata-kata, tanda baca, serta huruf besar dan huruf kecil. Unsur tekanan suara, nada, gerak, isyarat mata, atau isyarat tangan tidak dapat ditampilkan dalam tulisan. Karenanya, kata-kata yang ditulis harus tepat makna sehingga tidak akan menimbulkan salah tafsir. Hal ini merupakan ciri dari bahasa tulis yang membuatnya lebih resmi daripada bahasa lisan.
(2) Suasana pembicaraan. Istilah “suasana” di sini dapat diartikan “tempat, waktu, dan keadaan” pada saat dilakukan komunikasi. Dua orang teman kuliah yang sedang ngobrol di kampus akan memilih ragam bahasa yang berbeda dengan ketika ngobrol di kantin, di depan dosen, di depan teman wanita, di depan orang tuanya, di depan orang yang tidak dikenal, dan sebagainya. Perbedaannya bisa terletak pada pokok yang dibicarakan, tujuan, serta cara berbicara. Setiap pembicara dengan sendirinya harus menyadari bahwa setiap suasana pembicaraan menuntut pokok pembicaraan dan cara bericara yang berbeda. Dalam hal ini, pembicara akan mempertimbangkan sopan santun, kehormatan diri dan lawan bicara, serta sistem nilai yang ada. Dengan demikian, kita harus sadar bahwa setiap suasana memerlukan ragam bicara yang berbeda, resmi atau tidak resmi.
(3) Tujuan berkomunikasi. Dapat dipastikan bahwa setiap pembicaraan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Biasanya tujuan berbicara itu muncul di dalam hati sebelum pembicaraan dilakukan. Ada orang yang berbicara untuk memberitahu, mengajak, menjelaskan, menanyakan, memohon, meminta, melarang, dan sebagainya. Setiap tujuan berbicara tersebut memerlukan ragam bahasa tersendiri, baik resmi maupun tidak resmi. Perhatikan perbedaan kalimat orang yang memberitahu, melarang, memohon, meminta, menjelaskan, mempengaruhi, dan sebagainya.
(4) Tingkat kerterjalinan. Istilah “keterjalinan” di sini diartikan sebagai “hubungan di antara orang yang berkomunikasi”. Bisa juga diartikan “keakraban” di antara orang yang sedang berkomunikasi. Keterjalinan ini akan mempengaruhi ragam bahasa yang dipergunakan. Ragam bahasa yang digunakan dengan orang yang baru kenal harus berbeda dengan ragam bahasa yang dipergunakan dengan orang yang sudah akrab. Demikian juga saat berkomunikasi dengan orang tua yang akrab, orang tua yang baru kenal, orang tua yang akrab tetapi disegani, dan sebaginya diperlukan ragam bahasa yang berbeda. Untuk masing-masing orang tersebut kita harus memikirkan dan memilih cara panggilan atau sebutan yang sesuai, yang tidak menyinggung perasaannya, dan memberi kesan menghargainya.
Dari berbagai ragam bahasa yang sering dipergunakan, dapat kita identifikasi beberapa ragam bahasa, yaitu: (1) ragam baku seperti bahasa dalam undang-undang, keilmuan, dan pengajaran termasuk upacara-upacara resmi, (2) ragam santai yang merupakan ragam yang paling banyak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. (3) Ragam kelompok anak muda seperti bahasa alay dan bahasa prokem. (4) Ragam sastra yang dapat dibedakan atas bahasa ragam narasi, ragam drama, dan drama sajak atau puisi.
Keempat ragam ini dapat dilihat perbedaannya, terutama, dari segi pemilihan topik pembicaraan, sikap partisipan, serta pemilihan kata.

Penutup
Harus diyakini bahwa muncul berbagai ragam bahasa itu disebabkan oleh adanya perbedaan situasi dan kondisi. Situasi dan kondisi ini memaksa setiap orang yang berkomunikasi untuk memilih (1) saluran komunikasi, (2) sikap saat berkomunikasi, (3) cara berkomunikasi, serta (2) pilihan kata yang sesuai. Yakinilah, bahwa kemampuan seseorang dalam menggunakan berbagai ragam bahasa tersebut akan memperlihatkan kebijaksanaan dan kecerdasan seseorang dalam berbahasa. Hal ini harus dimulai dengan memunculkan dan memelihara sikap menghormati lawan bicara.


@salam dari Asep Nurjamin di Bumi Guntur Melati

Wednesday, May 6, 2020

Sajak:

SENJA DI MARGAWATI
Asep Nurjamin

Demikian cepat pergi,
senja di margawati,
angin hanya lalu,
lembayung ungu segera tersapu hitam malam,
kemudian berlalu,
secepat kedipan,
senja hanya meninggalkan kesan,
bahwa aku telah kehilangan.

Saturday, May 2, 2020

PENTINGKAH GURU TERAMPIL BERBAHASA (Bagian I)


Oleh: Dr. Asep Nurjamin

Guru perlu memiliki kemampuan yang baik dalam berbahasa karena tiga perkara. Pertama, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran. Kedua, bahasa Indonesia sebagai salah satu bahan yang harus dipelajari dan dikusai siswa. Ketiga, guru akan menjadi model yang akan dicontoh siswanya dalam berbahasa.

Setidaknya, ada tiga perkara yang mendorong guru untuk menguasai keterampilan berbahasa. Pertama, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran. Pada semua tahapan pembelajaran di kelas, guru berperan aktif sebagai motivator, penjelas, pengarah, dan penjaga agar siswa tetap dan terus belajar. Untuk menjalankan perannya itu, guru memberi arahan, penjelasan, mengajukan pertanyaan, membimbing, sampai menilai. Semua itu harus dilakukan menggunakan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, guru harus memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik dibanding orang biasa yang bukan guru.
Walaupun boleh menggunakan bahasa daerah, bahasa Indonesialah yang sebenarnya dituntut untuk dipergunakan guru sebagai bahasa pengantar. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Bab XV Pasal 16. Dikatakan bahwa  “bahasa Indonesia sebagai bahasa negara”. Hal ini  mengandung pengertian, bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang harus dipergunakan pada saat
1)      situasi resmi kenegaraan,
2)      administrasi dan dokumen kenegaraan,
3)      bahasa dalam kegiatan resmi seperti upacara, rapat, dan sebagainya
4)      bahasa pengantar di dalam pendidikan, serta
5)      bahasa resmi dalam administrasi dan dokumentasi pemerintahan.

              Keberhasilan guru dalam menerangkan, menjelaskan, memberi petunjuk, memberi contoh, menjawab pertanyaan, bahkan memeragakan sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam menggunakan bahasa. tidak jarang kita temukan guru yang penjelasannya justru sulit dipahami. Semakin banyak kalimat yang diucapkannya semakin tidak jelas apa yang dikatakannya. Guru yang seperti ini, cenderung akan membuatnya siswanya frustasi dan kehilangan minat untuk belajar.
Tidak mudah bagi seorang guru untuk membuat kalimat yang sederhana, tidak rumit, dan mudah dipahami. Setidaknya, guru harus senanatiasa mengontrol setiap kalimat yang diucapkannya. Sebelum disampaikan, guru terlebih dahulu memikirkan rumusan kalimat yang akan diucapkannya. Di samping itu, perlu pula diperhitungkan tingkat keterpahaman kalimatnya.  
Keterpahaman Kalimat yang diucapkan guru dimaknai “mudah atau sulitnya” dipahami kalimat yang diucapkan guru. Hal ini dipengaruhi oleh: tempo, pelafalan, serta panjang pendeknya kalimat.
“Tempo” berarti cepat atau lambatnya guru bicara. Jarak antara kalimat yang kesatu dengan yang kedua diucapkan tidak terlalu cepat. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mendengar dengan baik dan memikirkan isinya. Akan tetapi, berbicara dengan tempo yang terlalu lambat juga mungkin akan membosankan. Jadi, aturlah secukupnya. Intinya, siswa punya waktu untuk mencerna setiap kalimat yang kita ucapkan. Perhatikanlah reaksi siswa atas setiap kalimat yang kita ucapkan. Periksalah selalu keterlibatan perhatian dan pemahaman mereka terhadap kalimat-kalimat yang kita ucapkan.
“Pelafalan” berarti cara guru melafalkan setiap bunyi bahasa. Pada ucapan guru harus jelas terbedakan antara bunyi  fonem vokal seperti “a”, “i”, “u”, “o”. Demikian juga untuk fonem konsonan seperti “r”, “l”, “m”, “n” dan sebagainya. Semuanya tidak boleh diucapkan secara samar dan tidak jelas karena akan menimbulkan kesulitan untuk dipahami.   

(insya Allah bersambung)

SALAH TULIS

Hermawan Aksan wartawan Tribun Jabar KITA biasa menyebutnya typo, dari istilah typographical error. Maknanya, kesalahan ketik atau salah ket...