Thursday, November 5, 2020

SALAH TULIS

Hermawan Aksan wartawan Tribun Jabar

KITA biasa menyebutnya typo, dari istilah typographical error. Maknanya, kesalahan ketik atau salah ketik. Padahal, kalau kita merujuk pada KBBI, mestinya kesalahan tik atau salah tik, sebagaimana yang betul mesin tik, bukan mesin ketik. Tapi okelah, kadang bentuk yang baku kalah populer dibandingkan dengan bentuk yang tidak baku.
Karena itu, saya akan memakai istilah lain tapi dengan maksud sama: salah tulis.
Di era serbadigital ini, salah tulis dapat dengan mudah diperbaiki. Proses penyuntingan naskah dengan komputer, misalnya, jauh lebih mudah dibanding dengan 20-30 tahun lalu. Namun, jangan pernah meremehkan salah tulis meskipun satu huruf atau satu tanda baca. Kami di Tribun Jabar pernah dibuat malu karena salah tulis oleh wartawan dan kekurangjelian seorang redaktur. Wartawan bermaksud menulis kata kontrol tapi kurang satu huruf saja: r.
Sejarah mencatat salah tulis yang sangat terkenal, yakni ketika pada tahun 1631 diterbitkan Bibel, yang kemudian disebut sebagai Wicked Bible, yang menuliskan perintah ketujuh dari sepuluh perintah dengan kalimat Thou shalt commit adultery. Entah kenapa kata not-nya tidak tertulis. Jadi, malah berarti anjuran untuk berzina. Pihak Gereja Anglikan kemudian memerintahkan agar kitab itu dibakar dan pencetaknya, Robert Baker, didenda 300 pounds (jumlah yang sangat besar saat itu). Baker meninggal di penjara 14 tahun kemudian.
Salah tulis juga bisa membuat seseorang kehilangan nyawa. Tidak percaya? Peristiwa itu justru terjadi belum lama. Tepatnya pada 2013, seorang bocah berusia 18 bulan di New South Wales, Australia, harus mengembuskan napas terakhir gara-gara salah tulis yang dilakukan operator yang menerima panggilan darurat. Ia seharusnya mengirim ambulans pada pukul 09.14, tetapi malah menuliskan pukul 19.14. Setelah lama menunggu ambulans yang tidak kunjung datang, orang tua si bocah kemudian sekali lagi menghubungi 911, tapi sudah terlambat. Si bocah kecil terburu meninggal dunia. Kasus itu memaksa kementerian kesehatan Australiameminta maaf secara resmi dan terjadi reformasi besar-besaran pada sistem tanggap darurat di Australia.
Pada 2009, Companies House, lembaga pemerintah Inggris yang mencatat segala informasi transaksi keuangan berbagai perusahaan, mengeluarkan laporan bahwa Taylor & Sons, perusahaan engineering yang sudah berusia 124 tahun, bangkrut. Akibat laporan itu, seketika para pelanggan membatalkan pesanan dan para pemasok pun menghentikan pengiriman bahan. Masalah menjadi makin rumit karena saat itu direktur perusahaan sedang berlibur ke luar negeri, yang membuat para klien dan rekanan berasumsi sang pemilik perusahaan lari ke luar negeri. Perusahaan Taylor & Sons kemudian benar-benar bangkrut dan merumahkan sekitar 250 orang karyawannya. Padahal, perusahaan ini hanya korban salah tulis yang dilakukan karyawan Companies House. Perusahaan yang benar-benar bangkrut adalah Taylor & Son dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan perusahaan Taylor & Sons. Masalah ini kemudian dibawa ke pengadilan dan Companies House harus membayar ganti rugi 8,8 juta pounds.
Pada 1872, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan undang-undang tentang pembebasan tarif bea masuk bagi "fruit plants", tetapi juru tulisnya melakukan kesalahan dengan menulis "fruit, plants". Hanya berbeda satu koma, tetapi artinya jauh berbeda. Jika pada kalimat pertama pembebasan tarif berlaku pada "pohon buah-buahan", pada kalimat kedua artinya "buah-buahan, pohon". Importir buah-buahan segera menyadari kesalahan ini dan menolak membayar pajak. Kasus ini kemudian dibawa ke sidang pengadilan dan pemerintah Amerika Serikat diputuskan harus mengembalikan bea pajak para importir tersebut sebanyak 2 juta dolar. Dua tahun kemudian, dikeluarkan undang-undang yang baru hanya untuk menghilangkan "koma" tersebut.
Saya hanya hendak mengingatkan, biasakanlah melakukan swasunting terhadap tulisan-tulisan kita. Meremehkan tanda baca meski hanya satu koma ternyata bisa berakibat fatal. []

Ket: Tulisan disunting dari laman Face Book Nulis Aja Dulu

Thursday, October 22, 2020

PERAN PENYUNTINGAN DALAM PROSES MENULIS


Dr. Asep Nurjamin

Penyuntingan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua kegiatan menulis. Penyuntingan adalah sebuah proses yang wajib dilalui oleh semua tulisan yang akan dipublikasikan atau sekadar dibaca oleh orang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tulisan yang belum melalui proses penyuntingan adalah tulisan yang belum layak dilepas untuk dibaca orang.

Mengenai pentingnya penyuntingan itu dikatakan  Murray & Moore  (2006: 37) “We argue that this is an essential phase of the academic writing process”. Istilah essential di sini menunjukkan bahwa penyuntingan itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan menulis. Artinya, sebuah tulisan masih akan dianggap sebagai tulisan yang masih kasar dan penuh kekurangan apabila belum melalui proses penyuntingan.       

Penyuntingan itu merupakan sebuah proses yang harus dilakukan setelah kegiatan menulis selesai. Di dalam kegiatan penyuntingan, penulis sudah tak lagi menuliskan gagasan-gagasannya. Tahap mngeluarkan ide-ide sudah selesai. Penulis cenderung berada dalam keadaan berhenti menulis, lebih banyak merenungkan isi tulisan, tidak memihak, dan merasa tidak terlibat.  Dikatakan Murray dan Moore bahwa penulis ada dalam suasana (…) less active, more reflective, objective, detached mode (2006: 37). 

Merujuk pada pendapat Fulwiler (2002: 167-177) dapat disimpulkan bahwa kegiatan penyuntingan itu sebenarnya merupakan kegiatan yang ketiga. Urutannya adalah: (1) menulis, (2)  merevisi, dan (3) menyunting.

Untuk memahami ketiga tahapan tersebut, selanjutnya ketiga tahapan tersebut akan dibahas satu-persatu di bawah ini.

 

1. Tahap Menulis

Tahap pertama adalah tahap menulis. Pada tahapan ini penulis lebih disarankan untuk menuliskan semua gagasan yang muncul dalam pikiran dan perasaannya. Penulis tidak disarankan untuk melakukan revisi dan penyuntingan. Penulis harus fokus pada pengeluaran gagasan tanpa memikirkan benar salahnya penulisan, tingkat keterpahaman isinya oleh pembaca, bahkan sampai panjang pendeknya tulisan. Yang dipikirkannya adalah mengeluarkan semua gagasan yang berhubungan topik yang sedang ditulisnya.

Salah satu kesulitan yang sering dihadapi penulis adalah karena melakukan revisi dan penyuntingan pada tahapan pertama ini. Masalah inilah yang sering menghambat proses pengeluaran gagasan sehingga penulisan jadi tersendat bahkan tidak tulisan tidak terselesaikan. Pengeluaran gagasan jadi tidak mengalir. Inilah salah satu penyebab kebuntuan dalam menulis.

Pada tahapan ini, tulislah semua gagasan yang muncul walaupun itu remang-remang, tidak jelas. Cobalah dirumuskan dalam sebuah kalimat. Apabila tidak segera dituliskan, maka gagasan-gagasan itu akan dengan segera hilang dari ingatan kita. Jadi, tulislah apa pun itu. Apabila nanti ternyata bahwa itu tidak relevan dengan topik, kurang nyambung, sulit dipahami, terlalu padat, bahkan terasa bertele-tele dan lebay. Itu persoalan mudah. Hapus saja. Selesai perkara.

Kata seorang penulis terkenal, “Menulis itu gampang. Tulislah semua yang terpikirkan. Lalu, coretlah bagian yang tidak sesuai atau berlebih. Coretlah!”. Tuh, kan. Gampang, ya!


2. Tahap Merevisi

Merevisi tulisan adalah kegiatan memperbaiki dan menyempurnakan tulisan yang dilakukan sendiri oleh penulisnya. Yang menjadi prioritas dalam merevisi adalah membebaskan tulisan dari kesalahan-kesalahan yang mendasar seperti kesalahan ejaan, salah tulis, tanda baca, penggunaan huruf, dan sebagainya.

Kegiatan merevisi tulisan sebenarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan menulis. Merevisi tulisan adalah salah tahapan penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas tulisan kita. Kita tahu bahwa pada tahap penulisan, gagasan kita masih mentah. Kalimat-kalimatnya belum tertata dengan baik. Bahkan mungkin pilihan katanya pun masih seadanya. 

Di samping itu, kalimat-kalimat belum terkelompokan dalam sebuah paragraf yang memenuhi syarat. Bisa juga, kalimat utama dalam paragraf-paragrafnya masih bertumpah tindih. Ada juga paragraf yang terlalu syarat dari segi isi atau jumlah kalimat. Paragraf yang demikian mungkin bisa dipecah jadi dua atau tiga paragraf. 

Kemampuan seorang penulis dalam merevisi tulisannya sendiri adalah modal dasar seorang penulis. Semua penerbit mayor hanya akan menerima naskah yang dari segi isinya layak dibaca dan punya peluang dibeli orang dan terbebas dari kesalahan-kesalahan yang mendasar dalam tulisan. Para penerbit, walaupun memiliki tenaga ahli penyuntingan, mereka hanya akan menerima naskah yang tidak tidak memiliki kekurangan.

Kegiatan utama yang dilakukan seorang penulis pada tahapan revisi mini adalah (1) membaca ulang, (2) memeriksa dan meninjau ulang, serta (3) merevisi. Pada tahapan ketiga inilah penulis melakukan perbaikan. 

Untuk mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan pada tahapan revisi ini, mari kita cermati pernyataan Fulwiler 2002: 167) berikut ini! Menurutnya, pada tahapan revisi  ini penulis melakukan pekerjaan konseptual berupa kegiatan:

1)     membaca kembali seluruh tulisan dengan teliti dan hati-hati,

2)     memikirkannya kembali, serta

3)     merumuskan kembali agar setiap kalimat dapat secara tepat mewakili ide yang akan disampaikan.

Pada tahapan revisi ini penulis juga berusaha untuk memeriksa kembali:

1)      pendekatannya,

2)      topik pembahasan,

3)      argumen-argumen,

4)      fakta-fakta,

5)      susunannya,

6)      kesimpulannya, serta

7)      mencoba melakukan perubahan

 

3. Tahap Menyunting

Untuk membedakan tahapan revisi dengan menyunting, perhatikan pendapat Fulwiler, (2002: 167) berikut ini!  Revising differs from editing. Revision is conceptual work, where I reread, rethink, and reconstruct my thoughts on paper until they match those in my mind. Revising is reseeing my approach,topic,argument,evidence, organization, and conclusion, and experimenting with change. 

Kegiatan penyuntingan yang sesungguhnya adalah penyuntingan yang dilakukan oleh seorang yang profesional. Mereka adalah orang yang secara khusus ditunjuk oleh penerbit karena dianggap memiliki keahlian dan pengalaman dalam menyunting. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kegiatan menyunting ini sebenarnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari sebuah usaha penerbitan. Oleh karena itu, setiap penerbit mayor memiliki ahli penyuntingan. 

Sejalan dengan semakin banyaknya penerbit-penerbit indie, akhir-akhir ini, banyak ditemukan tulisan yang tidak melalui proses penyuntingan yang dilakukan oleh orang lain yang dianggap memiliki keahlian dalam menyunting. Akan tetapi, kita mesti yakin bahwa tulisan itu sebenarnya telah melalui proses revisi yang cermat oleh penulisnya sendiri. Salah satu alasan dilewatkannya kegiatan penyuntingan adalah karena adanya masalah biaya. Biasanya, penulis yang menerbitkan sendiri bukunya tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar jasa penyunting.    

Tentu saja buku yang dilahirkan tanpa melalui proses penyuntingan oleh ahli ini dari segi kualitasnya lebih rendah daripada buku-buku yang melalui proses penyuntingan. Buku-buku seperti ini dengan mudah dapat kita temukan. Walaupun demikian, terbitnya buku-buku tersebut sebenarnya telah meningkatkan rasio jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia. Hal ini dianggap menguntungkan karena jumlah buku yang diterbitkan setiap tahun oleh sebuah negara, dianggap sebagai indikasi kemajuan sebuah bangsa.

Apa tugas utama seorang penyunting?

Menurut Fulwiler, (2002: 167) tugas utama seorang penyunting adalah menggayakan tulisan, membuat kalimat lebih mudah dipahami, dan lebih menarik. Penyunting berusaha memahami apa yang maksud oleh sebuah kalimat. Setelah itu dia akan berusaha menimbang setiap kata, frasa, klausa, atau kalimat untuk melihat seberapa penting bagian itu, menimbang ketepatannya dalam menyampaikan maksud, serta kesesuannya dengan tata bahasa.  

Tahapan terakhir dari kegiatan penyuntingan adalah proofreading. Proofreading adalah kegiatan memeriksa naskah yang sudah dicetak dalam bentuk cetakan percobaan. Naskah yang sudah sampai pada tahapan ini biasanya dianggap telah memenuhi syarat untuk diperbanyak. Akan tetapi, untuk meyakinkan bahwa pada naskah tersebut sudah benar-benar terbebas dari kesalahan dan kekurangan, maka dilakukanlah pemeriksaan terkahir. Biasanya yang dilakukan adalah memeriksa ketepatan ejaan, penggunaan tanda baca, penggunaan huruf besar dan huruf kecil, serta hal lain yang dianggap perlu.

 

 3. Penutup

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan penyuntingan itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kegitan merevisi dan kegiatan penyuntingannya itu sendiri. Kegiatan merevisi tulisan merupakan keterampilan yang melengkapi keterampilan menulis seorang penulis. Setiap penulis wajib memiliki kemampuan merevisi tulisannya.

Pada pihak lain, kegiatan menyunting adalah kegiatan yang biasanya dilakukan oleh orang yang sudah ahli, berpengalaman, dan berprofesi sebagai penyunting. Mereka adalah orang yang dibayar untuk menyunting.

 

Rujukan

Fulwiler, Toby. 2002. College Writing: A Personal Approach to Academic Writing. Third edition. Ebook. Boynton/Cook Publisher Inc.: Portsmouth TH.

Murray, Rowena & Sarah Moore. 2006. The Handbook of Academic Writing: A Fresh Approach. Open University Press: McGraw-Hill Education: England. 

Richards, Janet C. & Sharon K Miller. 2005. Academic Writing in Education: Connecting the Personal and the Professional. Lawrence Erlbaum Associates Publisher: New Jersey London.

Sharpe, Leslie T & Irene Gunther. 1997. Editing Fact and Fiction: A Concise Guide to Book Editing. Ebook.     Cambridge University Press: Cambridge.

Wallwork, Adrian.  English for Writing Research Paper. Springer: New York.

DEFINISI DAN TUJUAN PENYUNTINGAN


Oleh: Dr. Asep Nurjamin

 

1.     Definisi Penyuntingan

Istilah “penyuntingan” merupakan terjemahan dari kata “editing” dalam bahasa Inggris. Apabila diperhatikan dari segi unsur pembentuknya, kata ini berasal dari imbuan “pe-an” ditambah kata dasar “sunting”. Imbuhan “pe-an” di sini menyatakan makna “proses”. Jadi, kata “penyuntingan” dapat diartikan sebagai proses “menyunting” atau “mengedit.”

Dalam praktiknya, penyuntingan adalah sebuah proses yang harus dilalui oleh sebuah naskah atau tulisan sebelum tulisan itu dipublikasikan. Banyak pertimbangan yang dijadikan dasar akan pentingnya penyuntingan bagi sebuah naskah. Salah satunya adalah adanya keyakinan bahwa setiap naskah  memiliki kekurangan. Tidak ada satu naskah atau tulisan pun yang sempurna. Oleh karena itu, semua penulis dan guru menulis meyakini pentingnya penyuntingan dan menganggap penyuntingan sebagai sebuah tahapan yang wajib dilalui seperti pentingnya menulis itu sendiri.

Kegiatan menyunting dapat didefinisikan sebagai kegiatan membaca dan mencermati kembali bahasa dan isi tulisan sebelum tulisan itu dipublikasikan baik di dalam media massa cetak maupun digital.

 

2.     Mengapa Diperlukan Penyuntingan?

Tujuan utama dari penyuntingan adalah agar tulisan yang akan dipublikasikan itu terbebas dari kesalahan. Penulis yang sudah terbiasa melakukan penyuntingan terhadap karyanya sendiri akan memperoleh manfaat yang besar.

Penyuntingan yang lazimnya dilakukan sebagai tahapan kedua setelah penulis merasa sudah selesai mengungkapkan semua gagasannya, akan membuat proses awal penulisannya sebagai kegiatan yang bebas dan tidak banyak tersendat karena harus mengoreksi tatatulisnya. Jadi, pada tahapan menulis, penulis fokus pada menuangkan gagasan tidaK disibukan dengan mengedit dan memperbaiki bahasa atau isinya. Prinsipnya, tulis semua yang gagasan yang muncul. Bacalah kembali dan perbaiki setelah tulisan itu kita anggap selesai.  

Lebih dari itu, tulisan itu pun diharapkan tidak mendatangkan bahaya, baik bagi si penulisnya sendiri maupun bagi orang. Tulisan tentang politik atau sistuasi sosial masyarakat memiliki kecenderungan untuk menimbulkan implikasi sosial. Bisa saja tulisan kita ini dianggap meresahkan masyarakat atau sekelompok orang.

Masalah ini akan muncul apabila isi tulisan itu mengandung isi yang akan dianggap merendahkan, melecehkan, atau menghina orang lain. Kesalahan seperti ini sebenarnya sangat jarang. Jenis kesalahan yang selalu ditemukan pada setiap tulisan adalah dari segi penggunaan bahasa, seperti: salah tulis, kesalahan ejaan, kesalahan atau kekurangan tanda baca, kekurangtepatan diksi, membuang kata yang tidak diperlukan, bahkan memperbaiki segi keterbacaannya.   

Untuk melihat hubungan di antara menulis dan menyunting, perhatikanlah tabel di bawah ini!

 

Tabel Perbedaan Menulis dan Menyunting

 

No.

Kegiatan dalam Menulis

Kegiatan dalam Menyunting

1.

Menciptakan tulisan

Mengkritik tulisan

2.

memperbanyak

Menambah dan menghapus

3.

Mengeluarkan semua gagasan yang muncul

Meningkatkan kualitas gagasan

4.

Hanya merekam gagasan yang melintas dalam diri penulis

Meninjau kembali gagasan yang telah ditulisnya

5.

Penulis merasa dekat dan terlibat dengan isi tulisannya

Merasa ada jarak dan berusaha objektif

6.

Ditulis seketika dan apa adanya tanpa banyak pertimbangan

Dilakukan setelah menulis untuk memperhalus dengan memperhitungkan berbagai pertimbangan

7.

Belum beraturan

Mengatur

 

Diadaptasi dari: https://www2.le.ac.uk/offices/ld/resources/writing/writing-resources/editing

 

Monday, October 5, 2020

MEMBACA DAN EMPAT KETERAMPILAN BERBAHASA


Dr. Asep Nurjamin

Sudah jadi kodrat manusia untuk senantiasa berkomunikasi dengan orang yang ada di sekitarnya. Untuk berkomunikasi itu diperlukan alat komunikasi yang sama-sama dipahami. Alat komunikasi inilah yang disebut “bahasa”.

Kemampuan manusia dalam berkomunikasi itu pun terus berkembang seiring dengan semakin banyaknya pengalaman dan kebutuhan berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi yang pada awalnya hanya sebatas komunikasi lisan telah bertambah dengan kemampuan berkomunikasi secara tertulis.

Dalam istilah “berkomunikasi” itu sendiri tergambar ada pihak yang terlibat, yaitu pihak yang memberitahu dan pihak yang diberi tahu. Jika dalam komunikasi lisan, “pihak yang memberi tahu itu” disebut “pembicara” sedangkan yang diberitahu disebut “penyimak”. Istilah “pembicara” berarti “orang yang berbicara” sedangkan istilah “penyimak” berarti “orang yang menyimak”. Dalam komunikasi tulis, “orang yang memberi tahu” itu disebut “penulis” sedangkan “orang diberi tahu” disebut “pembaca”. “Penulis” berarti “orang yang menulis” sedangkan “pembaca” berarti “orang yang membaca”.

Kemampuan manusia dalam berkomunikasi itu dapat dibedakan atas empat keterampilan, yaitu: (1) keterampilan menyimak, (2) keterampilan berbicara, (3) keterampilan membaca, serta (4) keterampilan menulis. Berdasarkan hakikatnya, keempat keterampilan ini dapat dibedakan atas keterampilan lisan dan keterampilan tulis. Keterampilan menyimak dan keterampilan berbicara termasuk ke dalam kelompok keteramplan lisan. Pada pihak lain,  keterampilan membaca dan keterampilan menulis termasuk ke dalam kelompok keterampilan tulis.

Keempat keterampilan berbahasa tersebut di atas dapat pula dibedakan pula atas keterampilan aktif produktif dan keterampilan aktif reseptif. Keterampilan berbicara dan keterampilan menulis termasuk kelompok keterampilan aktif produktif sedangkan keterampilan menyimak dan membaca termasuk kelompok keterampilan yang bersifat aktif reseptif.

Keterampilan berbicara disebut keterampilan yang bersifat aktif produktif karena kegiatan berbicara selalu menghasilkan suatu produk berbicara yaitu “ujaran”.  Produk kegiatan berbicara ini pun sering disebut dengan istilah “tuturan atau pembicaraan. Jadi ketiga istilah dianggap bersinonim. Keterampilan menulis disebut keterampilan yang bersifat aktif produktif karena menghasilkan sesuatu produk yaitu tulisan” atau “karangan”.

Pada pihak lain, keterampilan menyimak termasuk keterampilan yang bersifat aktif reseptif karena di dalam keterampilan ini penyimak bersifat “memahami” tuturan orang lain. Demikian pula halnya dengan keterampilan membaca yang hanya bersifat memahami tulisan.

Dalam keterampilan lisan, berbicara dan menyimak merupakan keterampilan yang saling melengkapi. Pada saat dua orang “mengobrol” pergantian peran antara pembicara dan penyimak berlangsung secara alamiah dan berlangsung tanpa disadari. Orang kesatu mengajukan pertanyaan, dalam hal ini orang kesatu berperan sebagai pembicara sementara orang kedua berperan sebagai penyimak. Selanjutnya, pada saat orang kedua menjawab, orang pertama menjadi penyimak sedangkan orang kedua berperan sebagai pembicara. Pergantian peran di antara pembicara akan terus berlangsung secara alamiah dan sering tanpa disadari.

Kedua keterampilan tersebut, yaitu berbicara dan menyimak cenderung dilakukan dalam komunikasi langsung. Pembicara dan penyimak berhadapan secara tatap muka dan berada pada tempat yang sama dengan jarak yang relatif dekat sehingga memungkinkan di antara keduanya untuk saling mendengarkan pembicaraannya. Lebih dari itu, dengan kemajuan teknologi komunikasi, pada saat ini pembicara dan penyimak dapat pula berkomunikasi secara langsung walaupun berada di tempat yang berbeda dengan jarak yang relatif jauh. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan alat komunikasi seperti telefon genggam, ‘hand phone’, skype, teleconfrence, dan sebagainya.

Dua keterampilan berikutnya, yaitu keterampilan menulis dan keterampilan membaca. Keduanya, dapat digolongkan ke dalam keterampilan dalam berkomunikasi secara tidak langsung. Dua orang yang berada di tempat yang berbeda dapat berkomunikasi secara tidak langsung. Dalam komunikasi ini, pembicara berusaha mengubah pesan yang biasanya disampaikan secara lisan ke dalam bentuk lambang-lambang tertulis. Lambang-lambang tertulis itu mencakup huruf-huruf yang dirangkai menjadi sukukata, kata, dan kalimat sehingga menjelma menjadi sebuah “surat”. Pada masa kini, bentuk surat yang menggunakan kertas dan pulpen telah berkembang menjadi surat yang memanfaatkan perangkat elektronik seperti “e-mail” dan “pesan pendek” pada telefon genggam yang lebih dikenal dengan nama “layanan pesan pendek”, ‘short message service’ yang disingkat jadi SMS.

Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa surat itu merupakan tulisan yang melambangkan pesan lisan yang hendak diutarakan pembicara kepada pendengarnya. Akan tetapi, karena pesan yang hendak disampaikan itu sudah berubah bentuk menjadi tulisan maka peran “si pengirim pesan” itu sudah berubah menjadi “penulis surat”, bukan lagi sebagai pembicara. Penerima surat pun tidak dapat disebut “penyimak” karena keterampilan yang dipergunakannya untuk memahami pesan tertulis bukanlah keterampilan “menyimak” melainkan keterampilan “membaca”.

Di samping memiliki kelemahan. Pesan yang disampaikan secara tertulis itu ternyata memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan pesan yang disampaikan secara lisan. Pesan tertulis itu akan terawetkan. Sebaliknya, pesan yang disampaikan secara lisan akan segera hilang begitu pembicara selesai menyampaikan maksudnya. Dengan demikian, pesan tertulis itu masih dapat dibaca oleh orang yang terpisah jarak dan waktu. Ini berarti bahwa tulisan itu masih akan dapat dibaca oleh orang yang jaraknya berada jauh dari tempat penulisnya. Di samping itu, pesan tertulis itu masih dapat dibaca walaupun penulisnya sudah meninggal dunia, penulis dan pembaca terpaut jarak waktu yang cukup lama. Sebagai contoh, hadist-hadist Rosulullah shalallahu alaihi wassalam yang telah dibukukan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim masih dapat dibaca hingga saat ini walaupun kedua ulama besar itu telah lama wafat.

Dari paragraf di atas dapat diketahui bahwa “keterampilan membaca” adalah keterampilan yang dilakukan untuk mencari informari dari bacaan dan atau memahami pesan tertulis. Pada saat membaca, pembaca tampak diam tetapi sebenarnya pikirannya aktif bekerja. Pembaca berusaha mamahami maksud dari setiap kalimat yang terdapat dalam tulisan. Selanjutnya, pembaca menghubungkan kalimat-kalimat itu dengan pengetahuannya. Misalnya, pengetahuan tentang kebiasaan-kebiasaan. Pembaca berusaha memahami semua maksud dari kalimat-kalimat yang tertulis, baik maksud yang tersurat maupun maksud yang tersirat. Untuk itu, pembaca harus memusatkan perhatian, berkonsentrasi  terhadap bacaannya. Jadi, selama proses pembacaan berlangsung, pikiran pembaca itu aktif, bekerja untuk memahami pesan-pesan tertulis. Oleh karena itulah, keterampilan membaca disebut sebagai keterampilan aktif reseptif.

 

@salam dari Asep Nurjamin Guntur Melati, 6 September 2020

 

 

MEMBACA DAN EMPAT KETERAMPILAN BERBAHASA

Dr. Asep Nurjamin

 

Sudah jadi kodrat manusia untuk senantiasa berkomunikasi dengan orang yang ada di sekitarnya. Untuk berkomunikasi itu diperlukan alat komunikasi yang sama-sama dipahami. Alat komunikasi inilah yang disebut “bahasa”.

Kemampuan manusia dalam berkomunikasi itu pun terus berkembang seiring dengan semakin banyaknya pengalaman dan kebutuhan berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi yang pada awalnya hanya sebatas komunikasi lisan telah bertambah dengan kemampuan berkomunikasi secara tertulis.

Dalam istilah “berkomunikasi” itu sendiri tergambar ada pihak yang terlibat, yaitu pihak yang memberitahu dan pihak yang diberi tahu. Jika dalam komunikasi lisan, “pihak yang memberi tahu itu” disebut “pembicara” sedangkan yang diberitahu disebut “penyimak”. Istilah “pembicara” berarti “orang yang berbicara” sedangkan istilah “penyimak” berarti “orang yang menyimak”. Dalam komunikasi tulis, “orang yang memberi tahu” itu disebut “penulis” sedangkan “orang diberi tahu” disebut “pembaca”. “Penulis” berarti “orang yang menulis” sedangkan “pembaca” berarti “orang yang membaca”.

Kemampuan manusia dalam berkomunikasi itu dapat dibedakan atas empat keterampilan, yaitu: (1) keterampilan menyimak, (2) keterampilan berbicara, (3) keterampilan membaca, serta (4) keterampilan menulis. Berdasarkan hakikatnya, keempat keterampilan ini dapat dibedakan atas keterampilan lisan dan keterampilan tulis. Keterampilan menyimak dan keterampilan berbicara termasuk ke dalam kelompok keteramplan lisan. Pada pihak lain,  keterampilan membaca dan keterampilan menulis termasuk ke dalam kelompok keterampilan tulis.

Keempat keterampilan berbahasa tersebut di atas dapat pula dibedakan pula atas keterampilan aktif produktif dan keterampilan aktif reseptif. Keterampilan berbicara dan keterampilan menulis termasuk kelompok keterampilan aktif produktif sedangkan keterampilan menyimak dan membaca termasuk kelompok keterampilan yang bersifat aktif reseptif.

Keterampilan berbicara disebut keterampilan yang bersifat aktif produktif karena kegiatan berbicara selalu menghasilkan suatu produk berbicara yaitu “ujaran”.  Produk kegiatan berbicara ini pun sering disebut dengan istilah “tuturan atau pembicaraan. Jadi ketiga istilah dianggap bersinonim. Keterampilan menulis disebut keterampilan yang bersifat aktif produktif karena menghasilkan sesuatu produk yaitu tulisan” atau “karangan”.

Pada pihak lain, keterampilan menyimak termasuk keterampilan yang bersifat aktif reseptif karena di dalam keterampilan ini penyimak bersifat “memahami” tuturan orang lain. Demikian pula halnya dengan keterampilan membaca yang hanya bersifat memahami tulisan.

Dalam keterampilan lisan, berbicara dan menyimak merupakan keterampilan yang saling melengkapi. Pada saat dua orang “mengobrol” pergantian peran antara pembicara dan penyimak berlangsung secara alamiah dan berlangsung tanpa disadari. Orang kesatu mengajukan pertanyaan, dalam hal ini orang kesatu berperan sebagai pembicara sementara orang kedua berperan sebagai penyimak. Selanjutnya, pada saat orang kedua menjawab, orang pertama menjadi penyimak sedangkan orang kedua berperan sebagai pembicara. Pergantian peran di antara pembicara akan terus berlangsung secara alamiah dan sering tanpa disadari.

Kedua keterampilan tersebut, yaitu berbicara dan menyimak cenderung dilakukan dalam komunikasi langsung. Pembicara dan penyimak berhadapan secara tatap muka dan berada pada tempat yang sama dengan jarak yang relatif dekat sehingga memungkinkan di antara keduanya untuk saling mendengarkan pembicaraannya. Lebih dari itu, dengan kemajuan teknologi komunikasi, pada saat ini pembicara dan penyimak dapat pula berkomunikasi secara langsung walaupun berada di tempat yang berbeda dengan jarak yang relatif jauh. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan alat komunikasi seperti telefon genggam, ‘hand phone’, skype, teleconfrence, dan sebagainya.

Dua keterampilan berikutnya, yaitu keterampilan menulis dan keterampilan membaca. Keduanya, dapat digolongkan ke dalam keterampilan dalam berkomunikasi secara tidak langsung. Dua orang yang berada di tempat yang berbeda dapat berkomunikasi secara tidak langsung. Dalam komunikasi ini, pembicara berusaha mengubah pesan yang biasanya disampaikan secara lisan ke dalam bentuk lambang-lambang tertulis. Lambang-lambang tertulis itu mencakup huruf-huruf yang dirangkai menjadi sukukata, kata, dan kalimat sehingga menjelma menjadi sebuah “surat”. Pada masa kini, bentuk surat yang menggunakan kertas dan pulpen telah berkembang menjadi surat yang memanfaatkan perangkat elektronik seperti “e-mail” dan “pesan pendek” pada telefon genggam yang lebih dikenal dengan nama “layanan pesan pendek”, ‘short message service’ yang disingkat jadi SMS.

Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa surat itu merupakan tulisan yang melambangkan pesan lisan yang hendak diutarakan pembicara kepada pendengarnya. Akan tetapi, karena pesan yang hendak disampaikan itu sudah berubah bentuk menjadi tulisan maka peran “si pengirim pesan” itu sudah berubah menjadi “penulis surat”, bukan lagi sebagai pembicara. Penerima surat pun tidak dapat disebut “penyimak” karena keterampilan yang dipergunakannya untuk memahami pesan tertulis bukanlah keterampilan “menyimak” melainkan keterampilan “membaca”.

Di samping memiliki kelemahan. Pesan yang disampaikan secara tertulis itu ternyata memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan pesan yang disampaikan secara lisan. Pesan tertulis itu akan terawetkan. Sebaliknya, pesan yang disampaikan secara lisan akan segera hilang begitu pembicara selesai menyampaikan maksudnya. Dengan demikian, pesan tertulis itu masih dapat dibaca oleh orang yang terpisah jarak dan waktu. Ini berarti bahwa tulisan itu masih akan dapat dibaca oleh orang yang jaraknya berada jauh dari tempat penulisnya. Di samping itu, pesan tertulis itu masih dapat dibaca walaupun penulisnya sudah meninggal dunia, penulis dan pembaca terpaut jarak waktu yang cukup lama. Sebagai contoh, hadist-hadist Rosulullah shalallahu alaihi wassalam yang telah dibukukan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim masih dapat dibaca hingga saat ini walaupun kedua ulama besar itu telah lama wafat.

Dari paragraf di atas dapat diketahui bahwa “keterampilan membaca” adalah keterampilan yang dilakukan untuk mencari informari dari bacaan dan atau memahami pesan tertulis. Pada saat membaca, pembaca tampak diam tetapi sebenarnya pikirannya aktif bekerja. Pembaca berusaha mamahami maksud dari setiap kalimat yang terdapat dalam tulisan. Selanjutnya, pembaca menghubungkan kalimat-kalimat itu dengan pengetahuannya. Misalnya, pengetahuan tentang kebiasaan-kebiasaan. Pembaca berusaha memahami semua maksud dari kalimat-kalimat yang tertulis, baik maksud yang tersurat maupun maksud yang tersirat. Untuk itu, pembaca harus memusatkan perhatian, berkonsentrasi  terhadap bacaannya. Jadi, selama proses pembacaan berlangsung, pikiran pembaca itu aktif, bekerja untuk memahami pesan-pesan tertulis. Oleh karena itulah, keterampilan membaca disebut sebagai keterampilan aktif reseptif.

 

@salam dari Asep Nurjamin Guntur Melati, 6 September 2020

 

 

SALAH TULIS

Hermawan Aksan wartawan Tribun Jabar KITA biasa menyebutnya typo, dari istilah typographical error. Maknanya, kesalahan ketik atau salah ket...